Senin, 31 Agustus 2020

MAHABARATA DRONA PARWA BAB II

MAHABHARATA
DRONA PARVA BAB 2

MENANGKAP YUDHISTHIRA

Dua pasukan telah diatur. Pertarungan telah dimulai. Dibawah
kepemimpinan Drona, pasukan telah berperang dengan dahsyat. Mereka mampu melupakan Bhisma dalam semangat yang baru ini. Sahadeva berhadapan dengan
Sakuni dalam sebuah pertarungan satu lawan satu. Drona bertarung dengan orang yang akan menjadi kematian baginya: Dhrstadyumna. Vivimsati, saudara Duryodhana, mencoba, untuk sesaat, bertarung dengan Bhima, dan merasa bahwa itu semua tidak mungkin. Bhima telah membunuh kuda-kudanya dan ia menghancurkan keretanya hingga menjadi beberapa bagian. Vivimsati harus melarikan diri. Bhurisrava bertarung dengan Sikhandi. Ia dihujani dengan panah-panah Sikhandi. Tetapi ia melawannya dengan panah-panahnya juga. Ini adalah pemandangan yang menakjubkan. Prajurit yang tua itu dan pemuda itu tidak puas dengan pertarungan yang biasa. Mereka membuat sebuah sensasi dengan pertarungan mereka. Ghatotkaca dan Alambusa bertarung satu lawan satu. Sangat menakjubkan melihat keduanya. Keduanya ahli dalam menggunakan taktik maya dan mereka berdua menggunakannya sampai batas yang paling tinggi. Chekitana
bertarung dengan Avanti bersaudara Vinda dan Anuvinda.

Virata bertarung dengan Radheya terlebih dahulu. Semua pasukan berdiri dan melihat, dengan tegang, pertarungan pertama Radheya. Mereka kagum melihat keahliannya memegang busur, dan kecepatan tangannya. Abhimanyu beberapa kali bertarung. Ia sangat gagah. Tidak ada seorangpun yang mampu menahan panah-panahnya. Ia membuat medan perang bersinar dengan ketampanannya dan pesonanya. Ia juga sangat berbahaya. Sangat menakjubkan
melihatnya bertarung. Ia bertarung dengan Salya. Ia juga terlalu kuat untuk Salya. Dalam kemarahannya, Salya turun dari keretanya. Dengan tongkat yang terangkat, ia mendekati Arjuna muda. Bhima datang untuk membantu Abhimanyu. Ia menantang Salya dalam pertarungan satu lawan satu dengan menggunakan tongkat. Mereka terlihat seperti macan dan gajah yang saling menyerang. Mereka bisa mendekat dari dua sisi. Keduanya adalah prajurit yang
hebat dengan tongkatnya dan ini adalah sebuah pertarungan yang mengagumkan. Hanya Bhima yang memiliki kekuatan untuk menahan gada Salya. Semua ini adalah pemandangan yang indah. Bhima suatu ketika memukul gada Salya, lalu terlempar dari tangannya dan jatuh di tanah seperti sebuah obor. Mereka melanjutkan bertarung untuk waktu yang lama. Tetapi akhirnya Salya dikalahkan oleh Bhima. Krtavarma datang dan membawa Salya dengan keretanya.

Vrsasena, putra Radheya, telah maju ke medan perang hari ini. Ia seperti sebuah komet yang tiba-tiba muncul di langit menerangi langit dan bumi dengan kilauannya. Ia mengusir pasukan Pandava. Satanika, putra Nakula, bertarung
dengannya. Ia merasa sulit untuk menghadapinya sendiri. Putra-putra Draupadi yang lain datang untuk membantunya. Asvatthama datang untuk menolong Vrsasena. Medan perang hari itu nampak seperti akhir dari dunia ketika dua belas matahari bersinar bersamaan. Ksatriya-ksatriya saling bertarung dengan gagah berani, dan dengan kemampuan yang mengagumkan. Benar-benar sebuah pemandangan yang menakjubkan melihat para ksatriya itu. Tetapi pasukan Kaurava banyak yang gugur. Abhimanyu, Bhima, Satyaki, Dhrstadyumna dan Arjuna yang terus-menerus menghancurkan pasukan Kaurava.

Drona berpikir bahwa ia harus menjalankan tugasnya untuk menangkap Yudhisthira. la melihat Arjuna tidak berada di sisi kakaknya. Kereta Drona datang secepat angin menuju Pandava. Drona berkata pada kusirnya: "Disana, dikejauhan, terlihat payung putih Yudhisthira. Pasukan kita dihancurkan oleh Pandava. Aku akan segera mendekati Yudhisthira dan membawanya pergi. Sangat sulit bagiku membayangkan bertarung dengan muridku. Mereka semua adalah murid-muridku: Pandava bersaudara, Dhrstadyumna, Sikhandi dan Satyaki. Aku harus bertarung dengan mereka semua. Tetapi ini bukanlah saatnya untuk berkata seperti itu. Aku harus cepat sebelum Arjuna kembali”. Pasukan Pandava tidak berdaya melihat kemarahan Drona. Ia hanya melintas melewati mereka, menghujankan panah-panah dari semua sisi. Ia langsung menuju ke arah Yudhisthira. la sekarang menyerang Yudhisthira yang sangat terkejut. Yudhisthira bertarung dengan gagah berani tetapi ia tidak bisa bertahan dari serangan Drona. Drona memotong panahnya menjadi dua. Dhrstadyumna segera menuju ke tempat Yudhisthira dengan bantuan Yudhisthira. Ia menandingi kekuatan Drona seperti tanah dengan air. Pelindung kereta Yudhisthira dihalau oleh Drona. Drona melukai Sikhandi dan Uttamauja dengan panah-panahnya. Putra-putra Draupadi tidak berdaya menghadapi Drona. Satyaki datang, dan juga Virata. Mereka semua
dikalahkan oleh Drona yang agung. Dhrstadyumna menyadari keadaan ini. Ia bertarung dengan sekuat tenaga. Tetapi kekuatan yang bukan kekuatan manusia
nampaknya ada pada tangan-tangan Drona. Ia seperti Dewa kematian. Ia menakutkan. Tidak ada seorangpun yang bisa melakukan sesuatu untuk menahannya. la maju dengan cepat. Drona bertarung demi janjinya pada Duryodhana. Ia harus
menangkap Yudhisthira. Pasukan Pandava yang dipimpin oleh Dhrstadyumna bertarung demi kehidupan Rajanya. Mereka kalah. Orang-orang di sekitar mereka berkata: "Yudhisthira pasti akan menjadi tawanan Drona hari ini. Perang akan segera berhenti sekarang. Yudhisthira dan saudara-saudaranya akan kembali ke hutan. Duryodhana akan bahagia sekarang, dan juga ayahnya."

Terdengar kereta yang semakin dekat. Itu adalah kereta Arjuna. Krishna mengendarai kereta itu seperti ia tidak pernah mengendarai kereta itu sebelumnya. Mereka lebih cepat dari angin. Pada kedua sisi kereta, mayat-mayat prajurit Drona terlihat. Nampak seperti Arjuna sedang berenang menyeberangi sungai darah. Ia sekarang dengan cepat menuju ke kereta Drona. Medan perang menjadi gelap karena banyaknya panah-panah Arjuna. Ia mengalahkan pasukan Drona. Ia mengusir pemanah terhebat dari semua pemanah, Drona, dengan panah-panahnya. Ia sangat marah pada gurunya yang mampu melakukan hal yang licik itu untuk menyenangkan hati Duryodhana. la bisa memaafkan Drona karena bertarung demi Kaurava. Tetapi janjinya ini pada Duryodhana tidak bisa dimaafkan. Ia seharusnya tidak setuju dengan hal itu. Mereka semua ada disana ketika permainan dadu dimainkan empat belas tahun yang lalu. Bayangan ketakutan itu seharusnya tidak bisa hilang dari pikiran orang yang selalu melakukan kebenaran. Duryodhana telah merencanakan permainan dadu yang lain. Dan guru mereka setuju untuk membantunya melakukan rencananya ini. Saat itu, semua rasa hormat Arjuna pada gurunya telah hilang. Pikirannya sangat
terpukul dan sedih karena tingkah laku gurunya. Baru kemarin kakek telah kalah. Dan hari ini Duryodhana mempunyai niat jahat lainnya. Dengan mata yang penuh dengan kemarahan dan tangannya yang menghujankan panah-panah yang
terus-menerus pada Drona, Arjuna bertarung dengan gagah berani dengan gurunya. Drona tahu bahwa ia telah dikalahkan. Ia memiliki kesempatan dan ia mencoba untuk menggunakannya. Tetapi ia tidak cukup cepat. Arjuna datang untuk menyelamatkan Yudhisthira.

Matahari mulai tenggelam. Tidak ada seorangpun yang melihatnya. Kedua pasukan ditarik. Wajah Arjuna masih merah karena amarah dan merasa direndahkan. Kereta para ksatriya kembali ke perkemahan. Saat itu malam hari.
Hari kesebelas dari peperangan itu, hari pertama kepemimpinan Drona sudah berakhir. Hari itu adalah hari Pandava dan bukan hari bagi prestasi Drona. Arjuna telah menunjukkan dengan mudah pada gurunya.

"Ditulis Ulang Oleh: Kamala Subramaniam"

Minggu, 30 Agustus 2020

Shankaracharya Penjelmaan Dewa Siwa, Penerus Misi Buddha Gautama

Umat Hindu umumnya telah akrab dengan konsep penyatuan Atman dengan Brahman (Moksa). Juga terhadap konsep “Tat Tvam Asi” Namun, tidak banyak yang tahu bahwa konsep itu diajarkan oleh Adi Sankaracharya, yang diyakini sebagai penjelmaan Dewa Siwa. Shankara, begitu beliau lebih dikenal secara luas, mengemban misi besar untuk mengembalikan ajaran Weda yang seolah tenggelam karena berkembangnya agama Buddha yang diajarkan oleh Buddha Gautama. Benarkah Atman dapat menyatu dan lenyap ke dalam Brahman?

Apa artinya “moksa”? Kalau pertanyaan itu, diajukan pada orang Hindu, sebagian pasti akan menjawab : “Moksa adalah bersatunya Atman dengan Brahman. Moksa adalah keadaan di mana diri kita kembali bersatu dengan Tuhan“ Bersatu dengan Tuhan? Apanya yang bersatu, diri kita? Artinya, suatu saat “diri” kita akan lenyap dan “merger” dengan Tuhan? Jadi, roh akan berhenti mengalami punarbhawa (reinkarnasi) setelah ia “menjadi” Tuhan?
Sepertinya, tidak banyak di antara kita yang pernah mempertanyakan lagi kebenaran konsep moksa yang satu ini. Kita seolah sudah merasa nyaman dan pede memberikan jawaban yang telah baku dan memang populer itu. Apalagi, logika pemahaman moksa dalam artian penyatuan antara atman dan Brahman itu didukung oleh contoh-contoh rasional yang konkret. Atman diibaratkan sebagai air sungai yang mengalir ke laut, sedangkan Brahman diumpamakan sebagai lautan. Ketika air sungai telah berhasil mencapai lautan, maka terjadilah penyatuan keduanya.

Kita tidak akan bisa lagi membedakan, mana yang air sungai dan mana yang air laut. Begitulah, saat mencapai moksa, sang atman tidak akan dapat dibedakan lagi dengan brahman, …..seperti halnya air sungai yang “merger” dengan air laut itu. Roh akan “lenyap” dan “menyatu” dengan Tuhan.

Sekilas, perumpaan air sungai dan air laut itu memang memadai untuk menggambarkan apa yang dialami oleh roh setelah ia moksa. Tetapi, contoh itu hanya tepat bagi seorang awam, yang tidak memahami seluk beluk atom, molekul dan persenyawaan kimia!

Memang benar, secara kasat mata, air sungai dan air laut itu “kehilangan identitasnya” masing-masing setelah mereka bersatu. Namun, orang yang memahami konsep persenyawaan antara berbagai molekul zat akan melihat kenyataan lain. Ia akan tahu, bahwa molekul air sungai terdiri dari atom-atom Hidrogen dan atom-atom Oksigen. Rumus molekul air adalah H2O. Artinya, satu atom oksigen mengikat dua atom hidrogen untuk membentuk satu molekul air. Begitupun air laut memiliki unsur-unsur penyusun yang sama.
Ketika air sungai bertemu air laut, terjadilah reaksi antara atom-atom hidrogen dan oksigen air sungai, dengan atom-atom hidrogen dan oksigen air laut. Mungkin dua atom hidrogen air sungai akan berikatan dengan satu atom oksigen air laut dan membentuk molekul baru. Bisa pula, satu atom oksigen air sungai mengikat dua atom hidrogen air laut. Dan seterusnya, dan seterusnya. Tetapi, jangan lupa bahwa masing-masing atom itu tidak pernah kehilangan “identitasnya”. Kalau kita tandai masing-masing atom itu, akan tampak atom hidrogen air sungai tidak berubah menjadi atom hidrogen air laut. Begitupun sebaliknya. Mereka hanya berikatan satu sama lain, tapi tidak ada pihak yang kehilangan “jati dirinya.” Artinya, jati diri atom-atom air sungai tetap ada, tidak lenyap, meskipun ia “menyatu” dengan atom-atom air laut.
Begitu pula dengan Atman dan Brahman. Kalau memang benar bahwa Atman dapat “menyatu dan lenyap” ke dalam Brahman, hal itu akan bertentangan dengan sifat-sifat sang roh (atman) yang diuraikan dalam kitab-kitab Weda.
Weda menjelaskan bahwa sang roh adalah energi atau daya hidup yang kekal. Penjelasan seperti itu sangat sesuai dengan Hukum Kekekalan Energi dalam ilmu fisika. Bahwa energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, energi hanya dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Dengan demikian, roh tidak bisa musnah, tidak bisa lenyap atau kehilangan sifat individualitasnya. Ia hanya berpindah dari satu badan jasmani ke badan jasmani lainnya, sesuai dengan karmanya.
Dalam Kitab Bhagavad-gita 2.23 dan 2.24 Sri Krishna memperkuat penjelasan di atas, dengan menyatakan sebagai berikut:

nainaà chindanti çasträëi
nainaà dahati pävakaù
na cainaà kledayanty äpo
na çoñayati märutaù

acchedyo ’yam adähyo ’yam
akledyo ’çoñya eva ca
nityaù sarva-gataù sthäëur
acalo ’yaà sanätanaù

“Sang roh tidak pernah dapat dipotong menjadi bagian-bagian oleh senjata manapun, terbakar oleh api, dibasahi oleh air, atau dikeringkan oleh angin. Roh yang individual ini tidak dapat dipatahkan dan tidak dapat dilarutkan, dibakar ataupun dikeringkan. Ia hidup untuk selamanya, berada di mana-mana, tidak dapat diubah, tidak dapat dipindahkan dan tetap ada untuk selamanya.”

Jadi, jelaslah bahwa konsep Atman dapat menyatu dengan Brahman, lalu lenyap seperti yang sering dijelaskan itu sebenarnya kurang tepat. Contoh berikut mungkin akan lebih memperjelas kekeliruan konsep kita tentang moksa. Ada seekor burung yang bulu-bulunya berwarna hijau, lalu hinggap pada sebatang pohon yang daunnya rindang berwarna hijau pula. Sudah tentu, burung itu akan seolah-olah lenyap dan tampak “menyatu” dengan pohon itu. Orang yang kurang cerdas akan mengatakan bahwa burung itu telah mencapai “penyatuan” dan kehilangan jati dirinya. Padahal, bagaimana faktanya? Ya, jelas sekali. Burung berbulu hijau itu tidak pernah berubah menjadi pohon, ia tetap ada di ranting pohon itu, tidak kehilangan individualitasnya. Demikian halnya sang pohon. Keduanya tampak seolah-olah menyatu, hanya karena persamaan sifat, bukan karena yang satu menjadi yang lain.
Begitupula dengan sang roh (Atman), ia akan tetap menjadi percikan-percikan Tuhan yang bersifat kekal, dan tidak akan pernah dapat berubah menjadi Tuhan (Brahman).
Sebagaimana dinyatakan oleh Sri Krishna :” mamaivamso jiva-loke jiva-bhutah sanatanah” Para makhluk hidup di dunia yang terikat ini adalah bagian-bagian percikan yang kekal dari Diriku (Bhagavad-gita 15.7).
Lagi pula, air sungai masih akan ada kemungkinan untuk mengalami penguapan. Cahaya matahari akan membuat air laut menguap menjadi awan, lalu akan jatuh lagi ke daratan. Jadi, menyatunya Atman dengan Brahman, kalau memang hal itu terjadi, tidak akan bersifat kekal. Bukankah kita sendiri mengalami bahwa sifat roh adalah selalu giat? Bagaimana mungkin roh yang bersifat aktif dapat tinggal diam dalam kekosongan tanpa ada kegiatan? Dengan sifat aktif seperti itu, suatu saat roh akan jatuh lagi ke dalam lingkaran kelahiran dan kematian.
Bila kita lacak kembali asal usul ajaran penyatuan Atman dengan Brahman, kita akan temukan nama Adi Sankaracarya, salah seorang guru besar dan filosof yang sangat termasyur di India, dikenal sebagai pencipta filsafat Mayavada itu.

Lalu, mengapa Sankaracharya berbuat demikian? Mengapa beliau mengajarkan konsep yang berbeda dengan ajaran Weda yang sesungguhnya? Jawabannya, Sankaracharya memang mengemban tugas melanjutkan misi yang telah dirintis oleh Buddha Gautama.
Menurut Satsvarupa das Gosvami (1996) dalam Padma Purana terdapat uraian mengenai identitas Sankaracarya yang sebenarnya. Dia adalah penjelmaan Dewa Siwa yang mengemban misi khusus :
“Istriku Parvati, dengarlah penjelasan bagaimana aku menyebarkan kebodohan melalui filsafat Mayavada. Hanya dengan mendengarnya saja, bahkan seorang yang sangat maju sekalipun akan jatuh. Dalam filsafat ini, yang sebenarnya sangat menyesatkan bagi orang awam, Aku akan menafsirkan secara keliru makna sejati ajaran-ajaran Weda, dan menganjurkan seseorang untuk meninggalkan segala jenis kegiatan untuk mencapai pembebasan dari karma. Dalam filsafat mayavada itu, Aku menyatakan bahwa jivatma (sang roh) dan Paramatma (Tuhan) adalah tunggal dan memiliki sifat-sifat yang sama.
Istriku, pada jaman Kaliyuga nanti Aku akan menjelma sebagai seorang brahmana dan mengajarkan filsafat Mayavada itu. Untuk menipu para ateis (orang yang tidak percaya kepada Tuhan), aku menguraikan Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa sebagai tidak berwujud dan tidak memiliki sifat. Begitu pula, dalam menafsirkan Vedanta, Aku menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki wujud, dan tidak berbentuk.”
Sewajarnya, orang lantas bertanya, mengapa Dewa Siwa berbuat demikian? Dalam Siva Purana, dijelaskan bahwa Dewa Siwa hanya menjalankan perintah. Sebagaimana kita ketahui, Buddha Gautama adalah penjelmaan Sri Wishnu yang telah mengajarkan agama Buddha dan menolak kebenaran kitab-kitab Weda. Para brahmana pada masa itu mengatasnamakan Weda untuk melakukan korban binatang atau mendirikan rumah potong hewan. Mereka juga mulai menyimpangkan ajaran Weda dengan memperkenalkan sistem kasta, yang menganggap bahwa hanya para brahmana yang boleh dan mampu mendekatkan diri kepada Tuhan. Karena itulah, tidak ada pilihan lain bagi Buddha Gautama, untuk menyelamatkan Weda, untuk sementara beliau menolak kebenaran Weda. Buddha Gautama mengajarkan ahimsa dan menghapuskan sistem kasta.
Buddha Gautama juga mengajarkan bahwa kehidupan di dunia ini adalah penderitaan, bahwa penyebab penderitaan itu adalah keinginan-keinginan duniawi kita, dan dengan menghapuskan seluruh keinginan, kita akan dapat mencapai nirwana, yaitu pembebasan dari kelahiran ke dunia ini. Buddha Gautama menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan keberadaan Tuhan, tentang atman (roh), kehidupan setelah pembebasan, dan sebagainya. Ketika ditanya mengenai hal-hal seperti itu, Buddha Gautama akan menjawab “Tathagata (Buddha) bebas dari segala teori.” (Ravindrasvarupa, 1991).

Para pengikut Buddha selanjutnya menyebarkan doktrin sunya atau anätma, yang berarti “roh itu tidak ada”, namun semua itu adalah penafsiran yang bersifat duniawi dari “kebisuan” Buddha Gautama terhadap topik-topik spiritual. Fakta sederhananya adalah bahwa Buddha Gautama menolak kebenaran Weda, namun Beliau tetap setia pada ajaran Weda dengan cara menolak menciptakan “teori-teori” sendiri tentang Tuhan, tentang roh, dan sebagainya yang berbeda dari konsep-konsep Weda. Karena itulah Buddha Gautama “diam seribu bahasa” mengenai hal-hal itu.
Kesadaran masyarakat pada masa itu tercemari akibat makan daging, orang telah menjadi ateis. Namun Sang Buddha yang tidak pernah berbicara sepatah katapun mengenai Tuhan, berhasil memenangkan sikap patuh dan tunduk orang-orang itu kepada Beliau. Demikianlah, Sri Wishnu telah mensiasati dan menipu orang-orang yang ateis pada masa itu untuk memuja Tuhan dalam penjelmaannya sebagai Sang Buddha. Misi Buddha Gautama sukses, sebagian besar masyarakat India mengikuti ajaran Beliau dan memeluk agama Buddha.

Namun keberhasilan itu membawa bahaya tersendiri, yaitu hilangnya rasa hormat terhadap Weda, dan berkembangnya filsafat yang menolak keberadaan Tuhan dan keberadaan roh.
Kemunculan Buddha Gautama merupakan langkah awal untuk proses pelurusan kembali ajaran-ajaran Weda yang telah disimpangkan. Langkah berikutnya adalah dengan mengutus awatara Dewa Siwa untuk melakukan pelurusan lebih lanjut. Awatara itu tidak lain adalah Sripada Sankarãcãrya, yang lahir pada tahun 788 Masehi di wilayah bernama Kaladi, di Propinsi Kerala, India Selatan. Sankara, demikian nama pemberian dari kedua orang tuanya, lahir dari pasangan brahmana bernama Sivaguru dan Aryamba.
Pasangan ini telah lama menikah, namun tidak dikaruniai anak. Lalu mereka mengadakan pemujaan kepada Tuhan agar dikaruniai anak. Dikisahkan bahwa Dewa Siwa muncul dalam mimpi mereka. Dewa Siwa memberikan pilihan, apakah mereka ingin memiliki satu anak laki-laki yang berusia pendek namun akan menjadi ahli filsafat yang sangat termashyur di dunia, ataukah memilih dikaruniai banyak anak, namun mereka akan memiliki kemampuan biasa-biasa saja. Tentu pilihan pertama menjadi lebih menarik bagi pasangan brahmana itu. Nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya adalah Sankara. Adi Sankaracharya, demikian beliau kemudian dikenal secara luas, adalah nama yang diberikan sebagai tanda kehormatan.
Kata “Adi” di depan nama Sankara dalam bahasa Sanskerta adalah sebuah gelar kehormatan yang berarti “yang mulia”.
Sedangkan kata “acharya” adalah sebutan untuk seorang guru kerohanian yang sudah insaf akan dirinya. Telah menjadi sebuah tradisi Hindu bahwa kata gelar yang berada di belakang nama seseorang yang dihormati, biasanya akan ditulis menyatu dengan nama belakang itu. Demikianlah, Sankara mendapat gelar “acharya”, sehingga namanya menjadi “Adi Sankaracharya”
Ayahnya telah meninggal dunia ketika Sankara baru berusia 3 tahun, sehingga ibunya menyelenggarakan upacara upanayana (upacara yang menandai seorang anak mulai belajar Weda) baginya dengan bantuan saudara-saudaranya. Sankara mampu menguasai segala jenis cabang pengetahuan Weda dalam waktu singkat.
Banyak peristiwa atau kejadian ajaib yang dikisahkan sehubungan dengan masa muda Sankara. Sebagai seorang Brahmana muda, suatu hari ia pernah pergi meminta sedekah makanan dari rumah-rumah keluarga-keluarga yang ada di desanya. Seorang wanita yang sangat miskin, namun tidak ingin membiarkan Sankara pergi dari hadapannya dengan tangan hampa, akhirnya memberikan buah amla yang hampir membusuk, satu-satunya benda yang tersisa di rumahnya. Tersentuh oleh sifat kedermawanan dan melihat kemiskinan dari wanita itu, Sankara menyusun doa pujian kepada Dewi Laksmi, dewi kekayaan di depan pintu rumah wanita itu. Sebagai hasil dari doa tersebut, rumah wanita itu dipenuhi dengan emas.
Sejak masa mudanya Sankara telah memiliki keinginan yang kuat untuk memasuki tahap hidup sannyasa (tahap hidup pelepasan ikatan terhadap hal-hal duniawi). Dalam hidupnya Sankara tidak pernah mencita-citakan untuk menikah dan menjalani kehidupan berumah tangga, meskipun ibunya sangat mendambakan hal itu. Suatu hari, ketika sedang mandi di sebuah sungai, seekor buaya menggigit kakinya. Sankara merasa bahwa ia memang telah ditakdirkan untuk meninggal dunia pada saat itu juga, dan kemudian segera memutuskan untuk memasuki tahap hidup sebagai seorang sannyasa. Ibunya menyaksikan peristiwa itu. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Sankara guna memperoleh ijin dari ibunya untuk menjadi seorang sannyasa. Kalau tidak, maka ia akan mati ditelan buaya itu.
Akhirnya dengan terpaksa ibunya memberikan restu, dan melupakan keinginannya agar Sankara menikah. Sankara berjanji kepada ibunya, bahwa walaupun ia seorang sannyas, kelak bila ibunya meninggal dunia, dia sendiri yang akan datang memakamkan jenasahnya.
Setelah dalam pikirannya Sankara memutuskan untuk memasuki tahap kehidupan pelepasan terhadap ikatan duniawi (sannyasa), tiba-tiba buaya tersebut melepaskan gigitan kakinya. Sejak saat itulah, secara tidak resmi Sankara memasuki tahap hidup sebagai sannyasa, dan memutuskan untuk mencari seorang guru yang akan mampu membimbing dan mengarahkannya.
Dalam pengembaraannya mencari seorang guru, Sankara tiba di tepi Sungai Narmada di India Tengah. Di sana, ia tiba disebuah ashram yang dipimpin oleh Govinda Bhagavatpada, murid dari Gaudapada yang termashyur dengan kitab karangannya, Mandukya Karikas. Kitab Mandukya Karikas dianggap sebagai kitab yang mulai memperkenalkan filsafat Advaita Vedanta. Sankara diterima sebagai murid secara rohani oleh Govinda Bhagavadpada, yang menganugerahinya dengan diksa sebagai sebagai sannyasa dalam tingkatan tertinggi, yaitu tahap paramahamsa.
Menyadari kecerdasan luar biasa yang dimiliki oleh muridnya, Govinda memerintahkan Sankara untuk menguraikan secara terperinci filsafat Vedanta dengan menyusun ulasan atau tafsiran terhadap Upanisad-upanisad terpenting, Brahma Sutra, dan Bhagavad-gita. Sankara memohon ijin gurunya untuk pergi melakukan perziarahan ke berbagai tempat suci di India, sambil menyusun ulasan-ulasannya terhadap kitab-kitab Upanisad.
Sangatlah besar sumbangan pemikiran Sankaracharya terhadap filsafat Vedanta dan kebangkitan kembali budaya India secara keseluruhan.
Secara garis besar, karya-karya Sankaracharya dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu
(1) Bhasya (ulasan terhadap prasthana trayi). Sankaracharya menulis ulasan terhadap 10 Upanisad, Brahma Sutra, dan Bhagavad-gita. Ketiga jenis kitab ini disebut sebagai tiga karya terpenting dalam filsafat Vedanta (prasthana trayi). Dewasa ini orang yang mempelajari Upanisad dan Brahma Sutra dianggap belum lengkap pengetahuannya, kalau belum membaca ulasan Sankaracharya. Gaya bahasa yang digunakannya juga begitu mudah dipahami, namun memiliki makna yang teramat luas serta mendalam; (2) Prakarana Grantha (ayat-ayat yang berisi uraian pendahuluan dalam mempelajari sebuah kitab); dan (3) Stotra (kumpulan mantra sebagai doa-doa pujian).
Selama 32 tahun usia hidupnya, Sankaracarya mengabdikan seluruh hidupnya untuk merestorasi dan meluruskan kembali ajaran-ajaran Weda. Sumbangan terbesar Sankaracarya adalah keberhasilannya mengalahkan filsafat agama Buddha yang telah membuat agama Hindu tenggelam pada masa itu. Sankaracarya melakukan debat-debat terbuka dengan para pendeta Buddha , dan berhasil membuktikan kebenaran ajaran Weda. Sankaracarya melakukan perjalanan ke seluruh wilayah India, dan mendirikan ashram-ashram besar di empat penjuru India, yaitu di utara di Badrinath, di selatan di Sringeri, di Barat di Dwaraka, dan di timur di Puri.
Sesuai dengan uraian tujuan Dewa Siwa menjelma sebagai Sankaracarya dalam Padma Purana dan Siwa Purana seperti yang dipaparkan di atas, maka dalam melakukan misinya Sankaracarya membuat berbagai penyesuaian.
Misalnya, untuk mengajak kembali para penganut Buddha agar menerima ajaran Weda, Sankaracarya melakukan kompromi dengan menciptakan penafsiran yang berlawanan dengan makna sesungguhnya ayat-ayat Weda. Buddha mengajarkan bahwa tidak ada Tuhan dan tidak ada atman, sedangkan
Weda jelas-jelas mengajarkan bahwa Tuhan itu ada, memiliki sifat personal. Sama halnya kalau kita ingin bertemu dengan presiden Amerika Serikat, mau tidak mau kita harus bertemu dengan “personal” atau “individu” yang menjabat sebagai presiden saat ini, yaitu George W. Bush. Kitab-kitab Purana dan Upanisad menyatakan bahwa Tuhan memiliki aspek personal dan aspek impersonal. Aspek personal Tuhan berarti bahwa Tuhan memiliki “wujud” atau “bentuk” rohani, yang berada diluar jangakuan nalar dan imajinasi manusia.
Bahkan dalam kitab Injil, Al-Quran, dan Taurat, terdapat ayat-ayat yang membuktikan bahwa Tuhan memang memiliki wujud atau bentuk rohani, meskipun ayat-ayat itu sering hanya memberikan keterangan yang samar-samar. Sebaliknya, dalam kitab-kitab Purana dan Upanisad, jelas-jelas disebutkan bahwa aspek tertinggi Tuhan adalah aspek bhagavan (Tuhan yang bersifat personal). Karena Buddha Gautama mengajarkan bahwa Tuhan itu tidak ada, maka Sankaracarya menegaskan bahwa Tuhan itu ada, namun tidak bersifat personal, Tuhan tidak memiliki bentuk atau wujud rohani. Konsep Tuhan yang tidak berwujud inilah yang lebih dikenal sebagai Brahman. Jadi Sankaracarya mengambil jalan tengah atau kompromi antara ajaran Buddha dan ajaran ketuhanan Weda, yaitu Tuhan ada, namun tidak berwujud!
Sankaracarya juga menegaskan bahwa atman itu ada, bahwa diri manusia sesungguhnya adalah “daya hidup” yang berada di dalam badan, yang dalam bahasa sehari-hari kita kenal sebagai roh.
Hal ini berlawanan dengan pandangan Buddha yang menyatakan roh itu tidak ada atau anatma. Untuk memperkuat konsep adanya roh itu, Sankaracarya memperkenalkan ajaran “TAT TVAM ASI” yang sering diartikan dengan “Aku adalah Kamu, Kamu adalah Aku”. Lalu konsep itu dikaitkan dengan salah satu ajaran dasar Weda lainnya yang menyatakan “AHAM BRAHMASMI” yang berarti “AKU ADALAH BRAHMAN”. Nah, penggabungan kedua ajaran ini menghasilkan pemahaman bahwa diri manusia sesungguhnya adalah Brahman, karena Sankaracarya menyebut Tuhan juga dengan kata “Brahman”.
Jadilah berkembang filsafat yang menganggap bahwa sesungguhnya manusia ini adalah Tuhan-Tuhan yang sedang tercemari kesadarannya, hingga jatuh ke dalam kehidupan material ini. Penyebab jatuh itu adalah ilusi atau maya. Jadi filsafat itu menyatakan bahwa manusia sesungguhnya adalah Brahman-Brahman yang sedang tertutupi oleh maya. Bila kita berhasil mencapai pembebasan, kita akan kembali menjadi Brahman, atau menyatu dengan Brahman. Itulah konsep moksa yang sering kita pahami. Karena itulah filsafat ini sering disebut filsafat Mayavada atau filsafat Mayavadi. Para pengikut filsafat ini menganggap semua manusia adalah sama, Tat Tvam Asi. Celakanya, mereka menganggap persamaan itu dalam bentuk “Aham Brahmasmi” sehingga mereka sering menyebut satu sama lain dengan sebutan “daridra narayana”. Narayana adalah nama lain dari Krishna atau Wishnu, Tuhan sesungguhnya. Sedangkan “daridra” artinya “kecil” atau “miskin”. Jadi “daridra narayana” artinya “narayana kecil” atau Tuhan yang sedang hilaf, kesadarannya tertutupi oleh maya, sehingga jatuh ke dunia ini. Nanti kalau sudah mencapai moksa, gelar “daridra” itu akan hilang, hingga tinggal gelar Narayana.
Tentu saja, filsafat itu patut dikritisi, karena menggelikan dan berisi unsur penghinaan. Mengapa? Menggelikan, karena menurut mereka Tuhan bisa lupa, tertutupi kesadarannya oleh maya (tenaga yang menghayalkan) sehingga jatuh ke dunia ini. Padahal maya adalah ciptaan Tuhan sendiri. Jadi, Tuhan macam apa yang bisa terjebak oleh tenaga ciptaan-Nya sendiri?? Lucu bukan? Masak Tuhan bisa kalah oleh maya.
Penghinaan pula, karena menganggap Tuhan sejajar dengan atman. Weda jelas-jelas menyebutkan bahwa atman tidak pernah menjadi Brahman. Jadi, perlu kita kaji ulang pengertian moksa sebagai “penyatuan Atman dengan Brahman.”
Semua itu adalah filsafat yang diajarkan oleh Adi Sankaracarya, dengan mengingat bahwa latar belakang masyarakat yang harus diajarinya adalah orang-orang Buddha yang memang tidak mengenal Tuhan. Sankaracarya mengemban misi tahap kedua untuk meluruskan ajaran Weda yang disimpangkan. Tahap berikutnya, menjelmalah Ramanujacarya, Madhvacarya, dan Caitanya Mahaprabhu yang akan kami bahas pada newsleter ini edisi mendatang.
Namun Sankaracarya sendiri adalah pemuja Narayana atau Krishna, yang terbukti dalam syairnya yang sangat terkenal berjudul Bhaja Govindam yang ditujukan untuk para pengikutnya sendiri.

bhaja govindam bhaja govindam
govindam bhaja mudha mate
sampraapte sannihite kaale
na hi na hi rakshati dukrinya-karane


SUMBER : vedasastra.com

dikutip oleh Iant Sulistiyanto

Mohon Bantuan Punia Umat Sedharma

Om Swastyastu 
Bapak dan Ibu umat sedharma yg saya Hormati,  berikut saya sampaikan program dana punia untuk memenuhi kebutuhan Operasional Pura Bhakti Widhi. 

Memohon bantuan dan kerjasama kepada seluruh umat yg memiliki penghasilan tetap untuk ber punia secara berkala sesuai kemampuan.

Program ini bertujuan utk membiayai kebutuhan pura, dan mengembangkan program2 keumatan di Pura Bhakti Widhi. Punia dapat dikirim melalui Rekening Bank, BRI, An. Penyungsung Pura Bhakti Widhi
*No. Rekening : 6980-01-018909-53-5*

Konfirmasi Punia dapat menghubungi Yanto ( 0817266444 )

Terimakasih atas sumbangan dana dari umat sedharma sekalian.

Om Santi, Santi, Santi Om

Jumat, 28 Agustus 2020

Jenis Jenis Paham Bhairawa

Ada jenis-jenis paham Bhairawa :

1. Bhairawa Kala Cakra, yaitu suatu ajaran Tantrayana dimana unsur Buddhisme (Mahayana) lebih dominan dari pada unsur-unsur Siwaisme. Raja Krtanegara (Singhasari) dan Adityawarman (Sumatera), leluhur Arya Dhamar dikatakan mempraktekkan ajaran ini.

2. Bhairawa Bhima adalah ajaran Bhairawa dimana unsur-unsur Siwaisme dominan. Kebo Parud dan Arya Damar (Bali) mempraktekkan ajaran ini.

3. Bhairawa Heruka yaitu ajaran Tantrayana yang terdapat di Padang Loco (Sumatera) dimana unsur-unsur kebudayaan asli Nusantara lebih dominan. Pengikutnya belum diketahui secara jelas.

Aliran tersebut mungkin berkembang sebagai akibat adanya hubungan politik dengan kerajaan Singhasari di Jawa Timur pada masa pemerintahan raja Krtanegara yang menerapkan ajaran Bhairawa. Dalam ajaran ini Siwa dipuja dalam wujudnya yang hebat yang disebut Durga. Durga dilukiskan sebagai kekuatan yang menakutkan, menyeramkan. Durga adalah sakti-nya Siwa yang di-sthana-kan di pura dalem pemuwun. Sementara kekuatan (sakti) Siwa dalam aspeknya yang damai, cantik, lembut diwujudkan dalam bentuk Parwati.

Nama Mpu Bharadah juga disebutkan di dalam prasasti berbahasa Sanskerta yang ditemukan di atas sebuah arca Mahakshobya di Simpang, Surabaya. Mpu Bharadah, bhagawanta (pendeta istana) raja Erlangga di Jawa Timur dikatakan pernah datang ke Bali dengan mengendarai sekeping kayu palud menyebrang lautan menuju Bali untuk menemui Mpu Kuturan yang lebih dulu ada di Bali. Mpu Kuturan ber-pasraman di Silayukti (Teluk Padang), Karangasem. Tujuannya minta persetujuan untuk menobatkan Sri Aji Jayasabha, putra Erlangga untuk memerintah di Bali. Namun, permintaan ini ditolak. Jayasabha bersaudara dengan Jayabhaya. Mpu Bharadah sebagai orang suci dipuja di pura Tanjung Sari, Teluk Padang dan di pura Mrajan Kanginan, Besakih, Karangasem, Bali. Mpu Bharadah pernah tinggal di Besakih di lereng gunung Agung berdasarkan prasasti Watu Madeg tahun 929 Saka (1007 Masehi). Barangkali masih ada tempat-tempat lain dimana beliau disucikan.

Bayak tokoh sejarah atau pribadi panutan lain yang mengabdikan dirinya di bidang agama Tantrayana. Tak seorang pun akan menyangkal raja Krtanegara (1268-1292 Masehi), raja terahir dinasti Singhasari yang bahkan dipuja semasa hidupnya sebagai Siwa-Buddha pengikut ajaran Bhairawa.

Di dalam teks NEGARAKRTAGAMA yang digubah oleh Mpu Prapanca, seorang pujangga-pendeta istana raja Hayam Wuruk dalam kerajaan Majapahit, Kertanegara disebut "mokteng Siwa-Buddha loka" (bebas di dunia Siwa-Buddha). Dalam prasasti masa Singhasari bertahun 1273 Saka, dikatakan bahwa Krtanegara "lumah ri Siwa-Buddha" (kembali kepada Siwa-Buddha). Sang pujangga yang pengikut agama Buddha Mahayana memuja dewa pujaannya sebagai Siwa-Buddha.

Aliran Bhairawa ini berkembang hingga ke Bali. Sekte ini pernah berkembang di sini dan bekas-bekasnya masih dirasakan hingga sekarang. Agama Hindu yang berkembang di Bali diwarnai juga praktek-praktek ajaran Bhairawa. Raja-raja Bali di dalam mengendalikan kerajaan (angreh praja) menerapkan ajaran ini. Kawisesan, kanuragan, kekuatan magis dan sejenisnya menjadi ciri khas ajaran ini. Arya Damar, leluhur raja Badung dikenal sebagai raja yang menerapkan ajaran Tantrayana, sekte Bhairawa Bhima. Bukti-bukti ini, antara lain dapat dilihat dalam sebuah relief di sebuah pura di Grenceng, kota Denpasar yaitu, pura Maospahit. Upacara Medatengan atau Kincangkincung yang umumnya dilaksanakan pada malam terahir upacara Piodalan di pura-pura di wilayah kerajaan Badung, atau di sekitarnya di Bali dan biasanya dilaksanakan pada malam hari, yaitu upacara Penyineban dalam rangkaian upacara Piodalan merupakan bukti adanya pengaruh ajaran ini. Orang suci yang memimpin upacara ini juga khusus, bukan pendeta Siwa, tetapi seorang sadeg (mungkin berasal dari kata 'sadhaka'). Kebiasaan duduk di atas usungan jenazah (layon) yang diusung menuju ke setra (kuburan) juga bukti-bukti adanya pengaruh Tantrayana bahwa di masa yang silam penguasa daerah ini menerapkan ajaran Bhairawa Bhima. Duduk di atas usungan jenazah (layon) dalam rangkaian upacara Pitra Yajna merupakan wujud dari praktek pemujaan kepada Bhatari Durga di kuburan. Praktek seperti ini dikenal dengan nama smasanagama di dalam ajaran Tantrayana.

Mengamati kehidupan agama Hindu di Bali dimana pada zaman dulu kala pernah berkembang sejumlah sekte, satu diantaranya adalah Bhairawa. Bhairawa adalah suatu sekte Durga dari aliran Tantris kiri (wama sakta). Sejumlah bukti yang sangat berkaitan dengan praktek ajaran Bhairawa, seperti adanya bangunan candi dan pemujaan kepada Bhatari Durga, sebagai sakti Siwa. Durga dipuja di pura Dalem Pemuwun atau kuburan (setra). 'Candi' dalam pengertian ini berbeda dari yang ada di Jawa. Di Bali 'candi' adalah bangunan pintu memasuki sebuah pura (tempat suci) yang bentuknya terbelah dua dikenal dengan nama candi bentar. Candi biasanya dibangun pada gapura paling luar, sementara yang agak ke tengah (yang dekat dengan pelinggih utama) adalah paduraksa yang bentuknya tertutup dan beratap sesuai dengan arsiteknya. Paduraksa ini mirip dengan gopuram pada mandir-mandir di daerah Tamil Nadu atau India Selatan. Jadi, ada dua gerbang atau gapura: yang luar dan dalam. Candi menyimbulkan ambang batas memasuki alam "dalam" atau yang lebih dalam (dalem) yang bersifat rahasia (rahasya). Dengan bangunan ini siapa saja yang ingin masuk ke dalam pura diingatkan akan betapa makna candi bentar bagi perjalanan rohani menuju kedalaman rohani. Sementara  paduraksa lebih banyak menekankan pada unsur positif, kemegahan, keagungan. Di sini aspek positif dan negatif dipadukan, bukan salah satu dari mereka disisihkan. Ini merupakan ciri khas pemikiran orang-orang Bali dimana mereka mengambil hal-hal terbaik dari mana saja dan dipadukan secara harmonis, selaras dan seimbang. Barangkali ini dapat dikatakan juga sebagai sinkritisme. Ajaran ini berkembang sekitar abad ke-13 Masehi. Ajaran ini juga dibuktikan dengan adanya arca Bhairawa Bhima di Pura Kebo Edan, Pejeng, Gianyar Bali. Wujud Bhairawa Bhima dipahatkan sedang menari kakinya menginjak mayat, mukanya tertutup (memakai masker) atau topeng. Sikap tarinya bernama alida, falus (kemaluan laki-laki) kelihatan dan mengarah ke kiri. Arah ke kiri bermakna Niwrtti dan apabila ke kanan bermakna Prawrtti. Lebih lanjut hal ini mengisyaratkan adanya dua paham dalam ajaran ini, yaitu aliran kiri (Pengiwa) dan kanan (Penengen). Dalam perkembangan aliran Bhairawa di Bali keduanya berkembang.

Ada sejumlah golongan yang dapat dimasukkan ke dalam Bhairawa tergolong Niwrtti Yoga (Pengiwa), ini antara lain:

1. Wegig (bagian pemasangan).
2. Teluh (berwujud binatang).
3. Leyak (berupa api pada malam hari), Tranjana (memungkinkan terbang di angkasa).

Sementara golongan Prawrtti Yoga (Penengen) antara lain:

1. Pragolan, Panggul (misalnya semacam ikat pinggang dan sejenisnya).
2. Pengasih Pengenduh.
3. Penglantih.
4. Pengeger.
5. Pemalyanan.

Kedua aliran ini yaitu Pengiwa dan Penengen semuanya memuja Sakti, yaitu Dewi/Bhatari Bhairawi, nama lain Dewi/Bhatari Durga. Dewi adalah Sakti-Nya Siwa dalam wujudnya yang menyeramkan, mengerikan, menakutkan. Parwati atau Uma adalah sakti Siwa dalam wujudnya yang damai (shanti). 'Sakti' di sini diterjemahkan sebagai 'kekuatan', 'tenaga'. Kebanyakan prakteknya dilakukan pada malam hari dan hari-hari tertentu menurut perhitungan kalender Jawa-Bali, misalnya Kajeng Kliwon. Ajaran ini bersifat rahasia, di berikan kepada murid kerohanian (sisya) tertentu saja.

Aliran Bhairawa nampaknya sangat digemari oleh penguasa. Hal ini dipelajari untuk kepentingan menjaga kestabilan pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat.

Pengarcaan Bhima yang banyak ditemukan di Jawa dan juga di Bali merupakan ciri nyata berkembangnya ajaran Bhairawa. Bhima di sini bukanlah dimaknai sebagai tokoh Bhima di dalam wiracarita Mahabharata, namun yang dipentingkan di sini adalah sifat-sifatnya yang memperlihatkan kekuatan, kehebatan, kesaktian. Fisiknya kekar, berotot, berkumis tebal, memiliki kuku panjang pada ibu jarinya yang dikenal dengan sebutan panchanaka, mengenakan kain poleng bang bintulu dan memiliki senjata utama berupa gada. Namun dalam bentuk arca yang ditonjolkan bagian kelamin yang kadang-kadang dalam posisi ereksi dengan ukuran yang terlalu besar bila dibandingkan dengan ukuran tubuhnya sendiri, misalnya pada arca Bhima dari Trenggalek yang kini menjadi koleksi Meseum Mpu Tantular. Pernah juga dilaporkan adanya arca Bhima yang penisnya diberikan tonjolan di kanan kirinya, mirip seperti lingga yang berbentuk penis di candi Sukuh dan Ceto. Tokoh Bhima ini dijadikan perwujudan ajaran Bhairawa mengingat kualitas spiritual yang dimiliki dan sangat dekat dengan karakter ajaran Bhairawa Tantra yang menekankan pada kesaktian dan magis. Karena kekuatan itu banyak cerita pewayangan di Jawa mengisahkan tokoh Bhima ini, misalnya Bhima Bungkus yang mengisahkan keajaiban Bhima pada saat lahirnya; Pandu Papa mengisahkan perjalanan Bhima menyelamatkan Pandu, ayahnya dari siksa neraka; Nawaruci/Dewaruci yang mengisahkan upaya yang penuh rintangan mendapatkan air kehidupan (amrta) di dasar samudra. Di Bali sendiri tokoh Bhima ini dikisahkan di dalam lakon Bhima Swarga.

OM Shanti.