Rabu, 20 Oktober 2010

PEMBUKAAN CUPU KYAI PANJOLO

Upacara ritual pembukaan cupu Kyai Panjolo yang dipercayai merupakan ramalan kejadian alam dalam rentang satu tahun ke depan di Desa Mendak Girisekar Kecamatan Panggang Gunungkidul menurut rencana akan dibuka Senin (13/10) malam.
Upacara pembukaan ketiga cupu Semarkinandhu, Palangkinantang, dan Kenthiwiri, akan dimulai pukul 23.00 dilanjutkan prosesi kenduri dan dhahar kembul dengan spesial menu nasi gurih berikut ayam dan lalapan. Prosesi kenduri ini dilaksanakan dua kali, sehingga peziarah dan pengunjung diwajibkan untuk makan bersama sebanyak dua kali dengan syarat satu piring dimakan untuk dua atau tiga orang.
Setelah itu dilanjutkan pembukaan cupu dimulai dari cupu tertua Semarkinandhu. Untuk membuka cupu ini dimulai dari selimut kafan pertama, kedua dan seterusnya. Tiap-tiap lembar kafan ini ditemukan benda atau gambar yang dipercayai sebagai ramalan.
Sebagaimana diketahui bahwa tahun 2006, isi cupu Kyai Panjolo ditemukan simbol 23 jenis. Dari jumlah tersebut ditemukan gambar gunung api, lumpur dan Pulau Jawa dalam keadaan retak. Selain itu ditemukan ceceran darah. Salah satu selimut arah barat ditemukan lumpur dan ceceran darah dan beberapa bulan kemudian terjadilah gempa tektonik yang meluluhlantakan DIY dan sekitarnya. Sedangkan tahun lalu ditemukan gambar pesawat terbang dan dalam satu tahun berikutnya banyak ditemukan kecelakaan pesawat dengan menimbulkan banyak korban.
Selain merupakan ramalan kejadian alam, cupu Kyai Panjolo juga dipercayai berisi ramalan politik dalam dan luar negeri, juga berisi ramalan bagi petani terutama yang menyangkut keberhasilan tanaman pangan. perkebunan. Dari itulah tiap dilakukan pembukaan cupu menjelang musim tanam selalu dibanjiri pengunjung.

Sewaktu saya masih kecil dulu sering diceritakan oleh orangtua saya akan adanya Cupu tersebut. Menurut cerita orangtua dulu bahwa Cupu Kiai Panjolo ini adalah simbol atau alat peramal untuk kondisi atau kejadian bangsa ini dalam masa setahun kedepan. Cupu Kiai Panjolo ini ada 3 jenis yaitu : ”Palangkhinantang, Semarkinandu”, dan ”Kenthiwiri”. Karena masih banyak warga lokal bahkan dari luar kotapun yang percaya akan hasil ramalan tersebut, maka digunakanlah acara ritual pembukaan Cupu tersebut untuk meminta berkah, entah itu penglaris usaha, jabatan dan lain-lain.Sehingga mereka datang dengan membawa kain mori ( kafan ) untuk membungkus Cupu tersebut,dari tahun ke tahun akhirnya pembungkus Cupu tersebut mencapai ratusan lapis kain.Jika jaman dulu sewaktu saya masih kecil baru beberapa lembar kain saja, namun saat ini ternyata sudah mencapai ratusan lembar kain mori. Kalau dulu ritual membuka kain Cupu Kiai Panjolo ini hanya butuh waktu beberapa jam mungkin tidak sampai dua jam namun saat ini tahun 2010 bisa sampai pagi hari karena saking banyaknya pembungkusnya.Terlebih lagi setiap lembar kain yang dibuka harus dilihat secara cermat apakah ada tulisan atau sesuatu tanda yang meramalkan kejadian setahun yang akan datang.

Adapun acara ritual membuka kain Cupu Kiai Panjolo ini bertempat didusun Mendak desa Girisekar kecamatan Panggang, dirumah cicit gantung siwurnya Kiai Panjolo yaitu rumah bapakDwijo Sumarto yang notabene memimpin acara sekaligus membuka kain mori tersebut.Dan tahun ini sudah berlangsung acaranya yaitu pada hari senin malam selasa kliwon tanggal 13 oktober 2010. Meskipun pada acara tersebut kondisi cuaca hujan namun tidak mengurangi antusiasme masyarakat yang akan melihat apa ramalan apa yang akan terjadi setahun ke depan.

Dan yang lebih unik yaitu Bapak Dwijo sebagai tuan rumah tentunya akan menyediakan jamuan makanan yang tidak sedikit, namun ternyata makanannya sudah dibuatkan oleh orang perorang yang merasa permintaannya tahun yang lalu terhadap Cupu Kiai Panjolo terkabul, dan itu semua atas permintaan orang tersebut untuk menydiakan kebutuhan konsumsi bagi masyarakat yang hadir.

Menurut berita salah satu media cetak daerah menyebutkan bahwa Upacara Pembukaan Kain Cupu Kiai Panjolo di lakukan tepat pukul 02.00. Pada pembungkus Cupu yang pertama hingga pembungkus kain mori yang ke 22 belum ditemukan tanda-tanda.Pembungkus cupu yang ratusan kain mori itu baru tampak ada tanda atau gambaran, setelah sampai pada kain pembungkus memasuki 80-an.

Masih menurut berita media tersebut,Gambaran pertama, sebelah timur di kain kafan ada gambar bintik-bintik dan pasir. Pada pembungkus kain kafan sebelah barat terdapat gambar empat jari tanpa ibu jari. Gambar itu tampak jelas sekali, berikutnya ada huruf M-R-H.

Yang paling mengerikan, pada kain kafan berikutnya di sebelah barat terdapat gambar kepala manusia dan kepala anjing dengan sekitarnya dipenuhi darah. Apa artinya, semua tidak ada yang tahu.

Namun yang jelas saat gambar itu dibacakan Dwijo Sumarto, hampir semua yang hadir dalam acara itu sepontan teriak bernada sedih.

Lepas dari semuanya itu, yang jelas Cupu Kiai Panjolo hingga sekarang masih dipercaya sebagai ramalan kejadian alam dalam rentang satu tahun ke depan. Benar atau tidak, kita lihat saja nanti.

Saya tambahkan sedikit gambaran dari referensi perpustakaan wonosari.com bahwasannya pada Upacara Pembukaan Cupu Kiai Panjolo pada tahun 2008 hasilnya sebagian antaralain :

Ditemukan gambar ayam jago yang diidentikkan dengan ayam aduan. Simbol ini mengisyaratkan pada 2009 dilangsungkan pesta demokrasi dan pertarungan antarpartai politik dalam mendulang aspirasi masyarakat dalam pesta demokrasi. Kemudian ditemukan juga gambar nasi aking sebagai simbol bidang ketersediaan pangan menipis. Kemudian gambar telapak tangan, dipercayai setiap orang harus berserah diri kepada Tuhan dan agar lebih mengutamakan kejujuran. Jika kejujuran mahal dan orang cenderung berbuat amoral akan menuai perbuatan sendiri. Hal ini berkait dengan ditemukan simbol angka 13 yang diidentikkan dengan kesialan, katanya..

kunjungi juga http://www.walanggunungkidul.co.nr/

Minggu, 03 Oktober 2010

Shankaracharya Penjelmaan Dewa Siwa, Penerus Misi Buddha Gautama

Umat Hindu umumnya telah akrab dengan konsep penyatuan Atman dengan Brahman (Moksa). Juga terhadap konsep “Tat Tvam Asi” Namun, tidak banyak yang tahu bahwa konsep itu diajarkan oleh Adi Sankaracharya, yang diyakini sebagai penjelmaan Dewa Siwa. Shankara, begitu beliau lebih dikenal secara luas, mengemban misi besar untuk mengembalikan ajaran Weda yang seolah tenggelam karena berkembangnya agama Buddha yang diajarkan oleh Buddha Gautama. Benarkah Atman dapat menyatu dan lenyap ke dalam Brahman?

Apa artinya “moksa”? Kalau pertanyaan itu, diajukan pada orang Hindu, sebagian pasti akan menjawab : “Moksa adalah bersatunya Atman dengan Brahman. Moksa adalah keadaan di mana diri kita kembali bersatu dengan Tuhan“ Bersatu dengan Tuhan? Apanya yang bersatu, diri kita? Artinya, suatu saat “diri” kita akan lenyap dan “merger” dengan Tuhan? Jadi, roh akan berhenti mengalami punarbhawa (reinkarnasi) setelah ia “menjadi” Tuhan?
Sepertinya, tidak banyak di antara kita yang pernah mempertanyakan lagi kebenaran konsep moksa yang satu ini. Kita seolah sudah merasa nyaman dan pede memberikan jawaban yang telah baku dan memang populer itu. Apalagi, logika pemahaman moksa dalam artian penyatuan antara atman dan Brahman itu didukung oleh contoh-contoh rasional yang konkret. Atman diibaratkan sebagai air sungai yang mengalir ke laut, sedangkan Brahman diumpamakan sebagai lautan. Ketika air sungai telah berhasil mencapai lautan, maka terjadilah penyatuan keduanya.

Kita tidak akan bisa lagi membedakan, mana yang air sungai dan mana yang air laut. Begitulah, saat mencapai moksa, sang atman tidak akan dapat dibedakan lagi dengan brahman, …..seperti halnya air sungai yang “merger” dengan air laut itu. Roh akan “lenyap” dan “menyatu” dengan Tuhan.

Sekilas, perumpaan air sungai dan air laut itu memang memadai untuk menggambarkan apa yang dialami oleh roh setelah ia moksa. Tetapi, contoh itu hanya tepat bagi seorang awam, yang tidak memahami seluk beluk atom, molekul dan persenyawaan kimia!

Memang benar, secara kasat mata, air sungai dan air laut itu “kehilangan identitasnya” masing-masing setelah mereka bersatu. Namun, orang yang memahami konsep persenyawaan antara berbagai molekul zat akan melihat kenyataan lain. Ia akan tahu, bahwa molekul air sungai terdiri dari atom-atom Hidrogen dan atom-atom Oksigen. Rumus molekul air adalah H2O. Artinya, satu atom oksigen mengikat dua atom hidrogen untuk membentuk satu molekul air. Begitupun air laut memiliki unsur-unsur penyusun yang sama.
Ketika air sungai bertemu air laut, terjadilah reaksi antara atom-atom hidrogen dan oksigen air sungai, dengan atom-atom hidrogen dan oksigen air laut. Mungkin dua atom hidrogen air sungai akan berikatan dengan satu atom oksigen air laut dan membentuk molekul baru. Bisa pula, satu atom oksigen air sungai mengikat dua atom hidrogen air laut. Dan seterusnya, dan seterusnya. Tetapi, jangan lupa bahwa masing-masing atom itu tidak pernah kehilangan “identitasnya”. Kalau kita tandai masing-masing atom itu, akan tampak atom hidrogen air sungai tidak berubah menjadi atom hidrogen air laut. Begitupun sebaliknya. Mereka hanya berikatan satu sama lain, tapi tidak ada pihak yang kehilangan “jati dirinya.” Artinya, jati diri atom-atom air sungai tetap ada, tidak lenyap, meskipun ia “menyatu” dengan atom-atom air laut.
Begitu pula dengan Atman dan Brahman. Kalau memang benar bahwa Atman dapat “menyatu dan lenyap” ke dalam Brahman, hal itu akan bertentangan dengan sifat-sifat sang roh (atman) yang diuraikan dalam kitab-kitab Weda.
Weda menjelaskan bahwa sang roh adalah energi atau daya hidup yang kekal. Penjelasan seperti itu sangat sesuai dengan Hukum Kekekalan Energi dalam ilmu fisika. Bahwa energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, energi hanya dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Dengan demikian, roh tidak bisa musnah, tidak bisa lenyap atau kehilangan sifat individualitasnya. Ia hanya berpindah dari satu badan jasmani ke badan jasmani lainnya, sesuai dengan karmanya.
Dalam Kitab Bhagavad-gita 2.23 dan 2.24 Sri Krishna memperkuat penjelasan di atas, dengan menyatakan sebagai berikut:

nainaà chindanti çasträëi
nainaà dahati pävakaù
na cainaà kledayanty äpo
na çoñayati märutaù

acchedyo ’yam adähyo ’yam
akledyo ’çoñya eva ca
nityaù sarva-gataù sthäëur
acalo ’yaà sanätanaù

“Sang roh tidak pernah dapat dipotong menjadi bagian-bagian oleh senjata manapun, terbakar oleh api, dibasahi oleh air, atau dikeringkan oleh angin. Roh yang individual ini tidak dapat dipatahkan dan tidak dapat dilarutkan, dibakar ataupun dikeringkan. Ia hidup untuk selamanya, berada di mana-mana, tidak dapat diubah, tidak dapat dipindahkan dan tetap ada untuk selamanya.”

Jadi, jelaslah bahwa konsep Atman dapat menyatu dengan Brahman, lalu lenyap seperti yang sering dijelaskan itu sebenarnya kurang tepat. Contoh berikut mungkin akan lebih memperjelas kekeliruan konsep kita tentang moksa. Ada seekor burung yang bulu-bulunya berwarna hijau, lalu hinggap pada sebatang pohon yang daunnya rindang berwarna hijau pula. Sudah tentu, burung itu akan seolah-olah lenyap dan tampak “menyatu” dengan pohon itu. Orang yang kurang cerdas akan mengatakan bahwa burung itu telah mencapai “penyatuan” dan kehilangan jati dirinya. Padahal, bagaimana faktanya? Ya, jelas sekali. Burung berbulu hijau itu tidak pernah berubah menjadi pohon, ia tetap ada di ranting pohon itu, tidak kehilangan individualitasnya. Demikian halnya sang pohon. Keduanya tampak seolah-olah menyatu, hanya karena persamaan sifat, bukan karena yang satu menjadi yang lain.
Begitupula dengan sang roh (Atman), ia akan tetap menjadi percikan-percikan Tuhan yang bersifat kekal, dan tidak akan pernah dapat berubah menjadi Tuhan (Brahman).
Sebagaimana dinyatakan oleh Sri Krishna :” mamaivamso jiva-loke jiva-bhutah sanatanah” Para makhluk hidup di dunia yang terikat ini adalah bagian-bagian percikan yang kekal dari Diriku (Bhagavad-gita 15.7).
Lagi pula, air sungai masih akan ada kemungkinan untuk mengalami penguapan. Cahaya matahari akan membuat air laut menguap menjadi awan, lalu akan jatuh lagi ke daratan. Jadi, menyatunya Atman dengan Brahman, kalau memang hal itu terjadi, tidak akan bersifat kekal. Bukankah kita sendiri mengalami bahwa sifat roh adalah selalu giat? Bagaimana mungkin roh yang bersifat aktif dapat tinggal diam dalam kekosongan tanpa ada kegiatan? Dengan sifat aktif seperti itu, suatu saat roh akan jatuh lagi ke dalam lingkaran kelahiran dan kematian.
Bila kita lacak kembali asal usul ajaran penyatuan Atman dengan Brahman, kita akan temukan nama Adi Sankaracarya, salah seorang guru besar dan filosof yang sangat termasyur di India, dikenal sebagai pencipta filsafat Mayavada itu.

Lalu, mengapa Sankaracharya berbuat demikian? Mengapa beliau mengajarkan konsep yang berbeda dengan ajaran Weda yang sesungguhnya? Jawabannya, Sankaracharya memang mengemban tugas melanjutkan misi yang telah dirintis oleh Buddha Gautama.
Menurut Satsvarupa das Gosvami (1996) dalam Padma Purana terdapat uraian mengenai identitas Sankaracarya yang sebenarnya. Dia adalah penjelmaan Dewa Siwa yang mengemban misi khusus :
“Istriku Parvati, dengarlah penjelasan bagaimana aku menyebarkan kebodohan melalui filsafat Mayavada. Hanya dengan mendengarnya saja, bahkan seorang yang sangat maju sekalipun akan jatuh. Dalam filsafat ini, yang sebenarnya sangat menyesatkan bagi orang awam, Aku akan menafsirkan secara keliru makna sejati ajaran-ajaran Weda, dan menganjurkan seseorang untuk meninggalkan segala jenis kegiatan untuk mencapai pembebasan dari karma. Dalam filsafat mayavada itu, Aku menyatakan bahwa jivatma (sang roh) dan Paramatma (Tuhan) adalah tunggal dan memiliki sifat-sifat yang sama.
Istriku, pada jaman Kaliyuga nanti Aku akan menjelma sebagai seorang brahmana dan mengajarkan filsafat Mayavada itu. Untuk menipu para ateis (orang yang tidak percaya kepada Tuhan), aku menguraikan Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa sebagai tidak berwujud dan tidak memiliki sifat. Begitu pula, dalam menafsirkan Vedanta, Aku menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki wujud, dan tidak berbentuk.”
Sewajarnya, orang lantas bertanya, mengapa Dewa Siwa berbuat demikian? Dalam Siva Purana, dijelaskan bahwa Dewa Siwa hanya menjalankan perintah. Sebagaimana kita ketahui, Buddha Gautama adalah penjelmaan Sri Wishnu yang telah mengajarkan agama Buddha dan menolak kebenaran kitab-kitab Weda. Para brahmana pada masa itu mengatasnamakan Weda untuk melakukan korban binatang atau mendirikan rumah potong hewan. Mereka juga mulai menyimpangkan ajaran Weda dengan memperkenalkan sistem kasta, yang menganggap bahwa hanya para brahmana yang boleh dan mampu mendekatkan diri kepada Tuhan. Karena itulah, tidak ada pilihan lain bagi Buddha Gautama, untuk menyelamatkan Weda, untuk sementara beliau menolak kebenaran Weda. Buddha Gautama mengajarkan ahimsa dan menghapuskan sistem kasta.
Buddha Gautama juga mengajarkan bahwa kehidupan di dunia ini adalah penderitaan, bahwa penyebab penderitaan itu adalah keinginan-keinginan duniawi kita, dan dengan menghapuskan seluruh keinginan, kita akan dapat mencapai nirwana, yaitu pembebasan dari kelahiran ke dunia ini. Buddha Gautama menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan keberadaan Tuhan, tentang atman (roh), kehidupan setelah pembebasan, dan sebagainya. Ketika ditanya mengenai hal-hal seperti itu, Buddha Gautama akan menjawab “Tathagata (Buddha) bebas dari segala teori.” (Ravindrasvarupa, 1991).

Para pengikut Buddha selanjutnya menyebarkan doktrin sunya atau anätma, yang berarti “roh itu tidak ada”, namun semua itu adalah penafsiran yang bersifat duniawi dari “kebisuan” Buddha Gautama terhadap topik-topik spiritual. Fakta sederhananya adalah bahwa Buddha Gautama menolak kebenaran Weda, namun Beliau tetap setia pada ajaran Weda dengan cara menolak menciptakan “teori-teori” sendiri tentang Tuhan, tentang roh, dan sebagainya yang berbeda dari konsep-konsep Weda. Karena itulah Buddha Gautama “diam seribu bahasa” mengenai hal-hal itu.
Kesadaran masyarakat pada masa itu tercemari akibat makan daging, orang telah menjadi ateis. Namun Sang Buddha yang tidak pernah berbicara sepatah katapun mengenai Tuhan, berhasil memenangkan sikap patuh dan tunduk orang-orang itu kepada Beliau. Demikianlah, Sri Wishnu telah mensiasati dan menipu orang-orang yang ateis pada masa itu untuk memuja Tuhan dalam penjelmaannya sebagai Sang Buddha. Misi Buddha Gautama sukses, sebagian besar masyarakat India mengikuti ajaran Beliau dan memeluk agama Buddha.

Namun keberhasilan itu membawa bahaya tersendiri, yaitu hilangnya rasa hormat terhadap Weda, dan berkembangnya filsafat yang menolak keberadaan Tuhan dan keberadaan roh.
Kemunculan Buddha Gautama merupakan langkah awal untuk proses pelurusan kembali ajaran-ajaran Weda yang telah disimpangkan. Langkah berikutnya adalah dengan mengutus awatara Dewa Siwa untuk melakukan pelurusan lebih lanjut. Awatara itu tidak lain adalah Sripada Sankarãcãrya, yang lahir pada tahun 788 Masehi di wilayah bernama Kaladi, di Propinsi Kerala, India Selatan. Sankara, demikian nama pemberian dari kedua orang tuanya, lahir dari pasangan brahmana bernama Sivaguru dan Aryamba.
Pasangan ini telah lama menikah, namun tidak dikaruniai anak. Lalu mereka mengadakan pemujaan kepada Tuhan agar dikaruniai anak. Dikisahkan bahwa Dewa Siwa muncul dalam mimpi mereka. Dewa Siwa memberikan pilihan, apakah mereka ingin memiliki satu anak laki-laki yang berusia pendek namun akan menjadi ahli filsafat yang sangat termashyur di dunia, ataukah memilih dikaruniai banyak anak, namun mereka akan memiliki kemampuan biasa-biasa saja. Tentu pilihan pertama menjadi lebih menarik bagi pasangan brahmana itu. Nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya adalah Sankara. Adi Sankaracharya, demikian beliau kemudian dikenal secara luas, adalah nama yang diberikan sebagai tanda kehormatan.
Kata “Adi” di depan nama Sankara dalam bahasa Sanskerta adalah sebuah gelar kehormatan yang berarti “yang mulia”.
Sedangkan kata “acharya” adalah sebutan untuk seorang guru kerohanian yang sudah insaf akan dirinya. Telah menjadi sebuah tradisi Hindu bahwa kata gelar yang berada di belakang nama seseorang yang dihormati, biasanya akan ditulis menyatu dengan nama belakang itu. Demikianlah, Sankara mendapat gelar “acharya”, sehingga namanya menjadi “Adi Sankaracharya”
Ayahnya telah meninggal dunia ketika Sankara baru berusia 3 tahun, sehingga ibunya menyelenggarakan upacara upanayana (upacara yang menandai seorang anak mulai belajar Weda) baginya dengan bantuan saudara-saudaranya. Sankara mampu menguasai segala jenis cabang pengetahuan Weda dalam waktu singkat.
Banyak peristiwa atau kejadian ajaib yang dikisahkan sehubungan dengan masa muda Sankara. Sebagai seorang Brahmana muda, suatu hari ia pernah pergi meminta sedekah makanan dari rumah-rumah keluarga-keluarga yang ada di desanya. Seorang wanita yang sangat miskin, namun tidak ingin membiarkan Sankara pergi dari hadapannya dengan tangan hampa, akhirnya memberikan buah amla yang hampir membusuk, satu-satunya benda yang tersisa di rumahnya. Tersentuh oleh sifat kedermawanan dan melihat kemiskinan dari wanita itu, Sankara menyusun doa pujian kepada Dewi Laksmi, dewi kekayaan di depan pintu rumah wanita itu. Sebagai hasil dari doa tersebut, rumah wanita itu dipenuhi dengan emas.
Sejak masa mudanya Sankara telah memiliki keinginan yang kuat untuk memasuki tahap hidup sannyasa (tahap hidup pelepasan ikatan terhadap hal-hal duniawi). Dalam hidupnya Sankara tidak pernah mencita-citakan untuk menikah dan menjalani kehidupan berumah tangga, meskipun ibunya sangat mendambakan hal itu. Suatu hari, ketika sedang mandi di sebuah sungai, seekor buaya menggigit kakinya. Sankara merasa bahwa ia memang telah ditakdirkan untuk meninggal dunia pada saat itu juga, dan kemudian segera memutuskan untuk memasuki tahap hidup sebagai seorang sannyasa. Ibunya menyaksikan peristiwa itu. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Sankara guna memperoleh ijin dari ibunya untuk menjadi seorang sannyasa. Kalau tidak, maka ia akan mati ditelan buaya itu.
Akhirnya dengan terpaksa ibunya memberikan restu, dan melupakan keinginannya agar Sankara menikah. Sankara berjanji kepada ibunya, bahwa walaupun ia seorang sannyas, kelak bila ibunya meninggal dunia, dia sendiri yang akan datang memakamkan jenasahnya.
Setelah dalam pikirannya Sankara memutuskan untuk memasuki tahap kehidupan pelepasan terhadap ikatan duniawi (sannyasa), tiba-tiba buaya tersebut melepaskan gigitan kakinya. Sejak saat itulah, secara tidak resmi Sankara memasuki tahap hidup sebagai sannyasa, dan memutuskan untuk mencari seorang guru yang akan mampu membimbing dan mengarahkannya.
Dalam pengembaraannya mencari seorang guru, Sankara tiba di tepi Sungai Narmada di India Tengah. Di sana, ia tiba disebuah ashram yang dipimpin oleh Govinda Bhagavatpada, murid dari Gaudapada yang termashyur dengan kitab karangannya, Mandukya Karikas. Kitab Mandukya Karikas dianggap sebagai kitab yang mulai memperkenalkan filsafat Advaita Vedanta. Sankara diterima sebagai murid secara rohani oleh Govinda Bhagavadpada, yang menganugerahinya dengan diksa sebagai sebagai sannyasa dalam tingkatan tertinggi, yaitu tahap paramahamsa.
Menyadari kecerdasan luar biasa yang dimiliki oleh muridnya, Govinda memerintahkan Sankara untuk menguraikan secara terperinci filsafat Vedanta dengan menyusun ulasan atau tafsiran terhadap Upanisad-upanisad terpenting, Brahma Sutra, dan Bhagavad-gita. Sankara memohon ijin gurunya untuk pergi melakukan perziarahan ke berbagai tempat suci di India, sambil menyusun ulasan-ulasannya terhadap kitab-kitab Upanisad.
Sangatlah besar sumbangan pemikiran Sankaracharya terhadap filsafat Vedanta dan kebangkitan kembali budaya India secara keseluruhan.
Secara garis besar, karya-karya Sankaracharya dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu
(1) Bhasya (ulasan terhadap prasthana trayi). Sankaracharya menulis ulasan terhadap 10 Upanisad, Brahma Sutra, dan Bhagavad-gita. Ketiga jenis kitab ini disebut sebagai tiga karya terpenting dalam filsafat Vedanta (prasthana trayi). Dewasa ini orang yang mempelajari Upanisad dan Brahma Sutra dianggap belum lengkap pengetahuannya, kalau belum membaca ulasan Sankaracharya. Gaya bahasa yang digunakannya juga begitu mudah dipahami, namun memiliki makna yang teramat luas serta mendalam; (2) Prakarana Grantha (ayat-ayat yang berisi uraian pendahuluan dalam mempelajari sebuah kitab); dan (3) Stotra (kumpulan mantra sebagai doa-doa pujian).
Selama 32 tahun usia hidupnya, Sankaracarya mengabdikan seluruh hidupnya untuk merestorasi dan meluruskan kembali ajaran-ajaran Weda. Sumbangan terbesar Sankaracarya adalah keberhasilannya mengalahkan filsafat agama Buddha yang telah membuat agama Hindu tenggelam pada masa itu. Sankaracarya melakukan debat-debat terbuka dengan para pendeta Buddha , dan berhasil membuktikan kebenaran ajaran Weda. Sankaracarya melakukan perjalanan ke seluruh wilayah India, dan mendirikan ashram-ashram besar di empat penjuru India, yaitu di utara di Badrinath, di selatan di Sringeri, di Barat di Dwaraka, dan di timur di Puri.
Sesuai dengan uraian tujuan Dewa Siwa menjelma sebagai Sankaracarya dalam Padma Purana dan Siwa Purana seperti yang dipaparkan di atas, maka dalam melakukan misinya Sankaracarya membuat berbagai penyesuaian.
Misalnya, untuk mengajak kembali para penganut Buddha agar menerima ajaran Weda, Sankaracarya melakukan kompromi dengan menciptakan penafsiran yang berlawanan dengan makna sesungguhnya ayat-ayat Weda. Buddha mengajarkan bahwa tidak ada Tuhan dan tidak ada atman, sedangkan
Weda jelas-jelas mengajarkan bahwa Tuhan itu ada, memiliki sifat personal. Sama halnya kalau kita ingin bertemu dengan presiden Amerika Serikat, mau tidak mau kita harus bertemu dengan “personal” atau “individu” yang menjabat sebagai presiden saat ini, yaitu George W. Bush. Kitab-kitab Purana dan Upanisad menyatakan bahwa Tuhan memiliki aspek personal dan aspek impersonal. Aspek personal Tuhan berarti bahwa Tuhan memiliki “wujud” atau “bentuk” rohani, yang berada diluar jangakuan nalar dan imajinasi manusia.
Bahkan dalam kitab Injil, Al-Quran, dan Taurat, terdapat ayat-ayat yang membuktikan bahwa Tuhan memang memiliki wujud atau bentuk rohani, meskipun ayat-ayat itu sering hanya memberikan keterangan yang samar-samar. Sebaliknya, dalam kitab-kitab Purana dan Upanisad, jelas-jelas disebutkan bahwa aspek tertinggi Tuhan adalah aspek bhagavan (Tuhan yang bersifat personal). Karena Buddha Gautama mengajarkan bahwa Tuhan itu tidak ada, maka Sankaracarya menegaskan bahwa Tuhan itu ada, namun tidak bersifat personal, Tuhan tidak memiliki bentuk atau wujud rohani. Konsep Tuhan yang tidak berwujud inilah yang lebih dikenal sebagai Brahman. Jadi Sankaracarya mengambil jalan tengah atau kompromi antara ajaran Buddha dan ajaran ketuhanan Weda, yaitu Tuhan ada, namun tidak berwujud!
Sankaracarya juga menegaskan bahwa atman itu ada, bahwa diri manusia sesungguhnya adalah “daya hidup” yang berada di dalam badan, yang dalam bahasa sehari-hari kita kenal sebagai roh.
Hal ini berlawanan dengan pandangan Buddha yang menyatakan roh itu tidak ada atau anatma. Untuk memperkuat konsep adanya roh itu, Sankaracarya memperkenalkan ajaran “TAT TVAM ASI” yang sering diartikan dengan “Aku adalah Kamu, Kamu adalah Aku”. Lalu konsep itu dikaitkan dengan salah satu ajaran dasar Weda lainnya yang menyatakan “AHAM BRAHMASMI” yang berarti “AKU ADALAH BRAHMAN”. Nah, penggabungan kedua ajaran ini menghasilkan pemahaman bahwa diri manusia sesungguhnya adalah Brahman, karena Sankaracarya menyebut Tuhan juga dengan kata “Brahman”.
Jadilah berkembang filsafat yang menganggap bahwa sesungguhnya manusia ini adalah Tuhan-Tuhan yang sedang tercemari kesadarannya, hingga jatuh ke dalam kehidupan material ini. Penyebab jatuh itu adalah ilusi atau maya. Jadi filsafat itu menyatakan bahwa manusia sesungguhnya adalah Brahman-Brahman yang sedang tertutupi oleh maya. Bila kita berhasil mencapai pembebasan, kita akan kembali menjadi Brahman, atau menyatu dengan Brahman. Itulah konsep moksa yang sering kita pahami. Karena itulah filsafat ini sering disebut filsafat Mayavada atau filsafat Mayavadi. Para pengikut filsafat ini menganggap semua manusia adalah sama, Tat Tvam Asi. Celakanya, mereka menganggap persamaan itu dalam bentuk “Aham Brahmasmi” sehingga mereka sering menyebut satu sama lain dengan sebutan “daridra narayana”. Narayana adalah nama lain dari Krishna atau Wishnu, Tuhan sesungguhnya. Sedangkan “daridra” artinya “kecil” atau “miskin”. Jadi “daridra narayana” artinya “narayana kecil” atau Tuhan yang sedang hilaf, kesadarannya tertutupi oleh maya, sehingga jatuh ke dunia ini. Nanti kalau sudah mencapai moksa, gelar “daridra” itu akan hilang, hingga tinggal gelar Narayana.
Tentu saja, filsafat itu patut dikritisi, karena menggelikan dan berisi unsur penghinaan. Mengapa? Menggelikan, karena menurut mereka Tuhan bisa lupa, tertutupi kesadarannya oleh maya (tenaga yang menghayalkan) sehingga jatuh ke dunia ini. Padahal maya adalah ciptaan Tuhan sendiri. Jadi, Tuhan macam apa yang bisa terjebak oleh tenaga ciptaan-Nya sendiri?? Lucu bukan? Masak Tuhan bisa kalah oleh maya.
Penghinaan pula, karena menganggap Tuhan sejajar dengan atman. Weda jelas-jelas menyebutkan bahwa atman tidak pernah menjadi Brahman. Jadi, perlu kita kaji ulang pengertian moksa sebagai “penyatuan Atman dengan Brahman.”
Semua itu adalah filsafat yang diajarkan oleh Adi Sankaracarya, dengan mengingat bahwa latar belakang masyarakat yang harus diajarinya adalah orang-orang Buddha yang memang tidak mengenal Tuhan. Sankaracarya mengemban misi tahap kedua untuk meluruskan ajaran Weda yang disimpangkan. Tahap berikutnya, menjelmalah Ramanujacarya, Madhvacarya, dan Caitanya Mahaprabhu yang akan kami bahas pada newsleter ini edisi mendatang.
Namun Sankaracarya sendiri adalah pemuja Narayana atau Krishna, yang terbukti dalam syairnya yang sangat terkenal berjudul Bhaja Govindam yang ditujukan untuk para pengikutnya sendiri.

bhaja govindam bhaja govindam
govindam bhaja mudha mate
sampraapte sannihite kaale
na hi na hi rakshati dukrinya-karane


SUMBER : vedasastra.com

dikutip oleh Iant Sulistiyanto

TENTANG NAMA HINDU

Jangan heran jika teman-teman sedharma sekalian menemukan penganut Veda tidak mau menyebut diri sebagai Hindu. Kita memiliki masalah sebenarnya dengan nama Hindu, ada yang sebenarnya tidak mau disebut Hindu tapi karena nama agama Hindu sudah terlanjur diberikan kepada kita, kadang mereka seolah terpaksa menyebut diri sebagai Hindu. Biasanya, istilah yang digunakan adalah:

1. Penganut Veda

2. Acarya

3. Sanatana Dharma

4. Bahkan ada yang mengatakan ISKCON

Nah, kenapa banyak orang tidak mau disebut sebagai Hindu? Berikut adalah tulisan dari Stephen Knapp, mantan Kristen Amerika yang telah memeluk agama Veda yang wawasannya jauh lebih luas daripada kita yang murni kelahiran Hindu.

TENTANG NAMA “HINDU”

Oleh Stephen Knapp

Saya merasa perlu untuk mengklarifikasi mengenai penggunaan kata “Hindu” dan “Hinduisme”. Faktanya memang benar “Hinduisme” didasari pada pengetahuan Veda, yang mana berhubungan kepada identitas spiritual kita. Banyak org menerimanya berarti sama dengan Sanatana-dharma, yang sebenarnya adalah istilah Sanskerta yang lebih akurat untuk jalan Veda. Identitas tersebut melampaui segala nama sementara sebagai Kristen, Islam, Buddha, atau bahkan Hindu. Bagaimanapun, Tuhan tidak pernah menggambarkan diri-Nya sebagai milik kategori tersebut, mengatakan bahwa Dia adalah hanya Tuhan Kristen, Tuhan Muslim, atau Tuhan Hindu. Oleh karena itu beberapa guru besar spiritualis dari India telah menjauhi pengidentifikasian diri sebagai orang Hindu saja. Jalan Veda itu abadi, dan karena itu melampaui segala sebutan sementara itu. Jadi saya menyebut nama “Hindu” penunjukan sementara?

Kita harus ingat bahwa istilah “Hindu” itu bahkan bukan istilah Sanskerta. Banyak ahli mengatakan bahwa itu tidak ditemukan di dalam Sastra Veda manapun. Jadi bagaimana bisa nama seperti itu mewakili jalan atau tradisi Veda? Dan tanpa sastra Veda, tidak ada dasar untuk “Hinduisme.”

Banyak ahli merasa bahwa nama “Hindu” telah dikembang pihak lain, para penyerbu yang tidak bisa menyebut nama Sungai Sindhu dengan baik. Menurut Sir Monier Williams, leksikografer Sanskerta, anda tidak dapat menemukan akar pribumi untuk kata-kata Hindu atau India. Tidak juga kata-kata tersebut ditemukan dalam setiap teks-teks Buddha atau Jain, atau salah satu dari 23 bahasa resmi India.

Beberapa sumber melaporkan bahwa Alexander Agung yang pertama kali merubah nama Sungai Sindhu menjadi Indu, menghilangkan huruf “S”, guna memudahkan pengucapan bagi orang Yunani. Inilah kemudian dikenal sebagai Indus. Ini ketika Alexander menyerbu India sekitar tahun 325 BCE. Kekuatan Macedoniannya sesudah itu disebut daratan timur Indus sebagai India, sebuah nama yang digunakan terutama selama rezim Inggris. Sebelum ini, nama Veda untuk daerah itu adalah Bharath Varsha, di mana banyak orang masih lebih suka menyebutnya dengan nama itu.

Kemudian, ketika penyerbu Muslim tiba dari tempat-tempat seperti Afghanistan dan Persia, mereka menyebut Sungai Sindhu sebagai Sungai Hindu. Setelah itu, nama “Hindu” digunakan untuk menggambarkan saluran penduduk dari tanah di propinsi barat laut dari India di mana terletak Sungai Sindhu, dan daerah itu sendiri disebut “Hindustan.” Karena suara Sansekerta “S” berubah menjadi “H” dalam bahasa Persia, Muslim menyebut “Sindhu” sebagai “Hindu,” meskipun pada saat orang-orang dari daerah itu tidak menggunakan nama “Hindu” sendiri. Kata ini digunakan oleh Muslim asing untuk mengidentifikasi orang-orang dan agama di mana orang-orang tersebut tinggal di daerah itu. Setelah itu, bahkan orang Indian sesuai dengan standar tersebut sebagaimana ditetapkan oleh mereka yang berkuasa dan menggunakan nama-nama Hindu dan Hindustan. Sebaliknya, kata itu tidak memiliki makna kecuali orang-orang memberinya arti atau sekarang digunakan di luar kegunaan.

Sebuah pemandangan lain tentang nama “Hindu” menunjukkan kebingungan alami untuk mengerti esensi sebenarnya dari jalan spiritual India. Seperti yang ditulis oleh RN Suryanarayan dalam bukunya Agama Universal (p.1-2, yang diterbitkan di Mysore pada tahun 1952), “Situasi politik di negara kita sejak berabad lalu, sebut saja 20-25 abad, telah membuatnya sangat sulit untuk memahami sifat bangsa ini dan agamanya. Sarjana Barat, dan sejarawan, juga, telah gagal untuk melacak nama sejati ini Tanah Brahman, benua yang luas seperti negara, dan oleh karena itu, mereka telah puas diri dengan menyebutnya dengan istilah yang berarti ‘Hindu’. Kata ini, yang merupakan inovasi asing, tidak terbuat dari penggunaan oleh penulis Sansekerta kami dan Acharya yang dihormati dalam karya-karya mereka. Tampaknya kekuasaan politik bertanggung jawab untuk terus-menerus menekankan penggunaan kata Hindu. Kata Hindu ditemukan, tentu saja, dalam sastra Persia. Hindu-e-Falak berarti ‘kegelapan dari langit’ dan ‘Saturnus’. Dalam bahasa Arab Hind bukan Hindu berarti bangsa. Hal ini memalukan dan menggelikan telah membaca selama ini dalam sejarah bahwa nama Hindu diberikan oleh orang-orang Persia kepada penduduk negara kami ketika mereka mendarat di tanah suci Sindhu.”

Lokasi di mana kata “Hindu” terjadi untuk apa beberapa orang merasa pertama kalinya dalam Avesta dari Iran dalam deskripsi negara India dan rakyatnya. Seperti negara agama Zorastrime, kata tampaknya mengambil makna yang menghina. Dan tentu saja sebagai mana Islam menyebar di India, kata “Hindu” dan “Hindustan” menjadi semakin tidak dihormati dan bahkan dibenci di arena Persia, dan lebih menonjol dalam sastra Persia dan Arab setelah abad ke-11.

Pandangan lain sumber nama Hindu didasarkan pada makna menghina. Dikatakan bahwa, “Selain itu, benar bahwa nama ini [Hindu] telah diberikan kepada ras Arya asli daerah penyerbu Muslim untuk mempermalukan mereka. Dalam bahasa Persia, kata penulis kami, kata tersebut berarti budak, dan menurut Islam, semua orang yang tidak memeluk Islam disebut sebagai budak. “(Dayanand Saraswati Shri Maharishi Aur Unka Kaam, diedit oleh Lala Lajpat Rai, diterbitkan di Lahore, 1898 dalam Pendahuluan).

Lebih jauh lagi, sebuah kamus Persia berjudul Lughet-e-Kishwari, diterbitkan di Lucknow pada tahun 1964, memberikan arti kata Hindu sebagai “tugas [pencuri], dakoo [Perampok], raahzan [waylayer], dan Ghulam [budak].” Di kamus lain, bahasa Urdu-Feroze-ul-Laghat (Bagian Pertama, hal 615) Persia arti kata Hindu adalah lebih lanjut digambarkan sebagai Barda (hamba yang taat), sia faam (warna hitam) dan kaalaa (hitam). Jadi semua ini adalah ungkapan menghina untuk menerjemahkan istilah Hindu sebagai label Persia atas rakyat India.

Jadi, pada dasarnya, Hindu hanyalah kelanjutan dari istilah seorang muslim yang menjadi populer hanya dalam 1300 tahun terakhir. Dengan cara ini, kita dapat memahami bahwa ini bukan istilah Sansekerta yang valid, juga tidak ada hubungannya dengan budaya Veda atau jalan spiritual Veda. Tidak ada agama yang pernah ada yang disebut “Hinduisme” sampai orang-orang India pada umumnya memberi nilai pada nama itu, seperti yang diberikan oleh mereka yang didominasi atas mereka, dan menerima penggunaannya. Selanjutnya, istilah telah digunakan untuk menyampaikan konotasi merendahkan. Jadi, apakah itu tidak mengherankan bahwa beberapa acharya India dan organisasi Weda tidak peduli untuk menggunakan istilah?

Kebingungan yang sesungguhnya dimulai ketika nama “Hindu” digunakan untuk menunjukkan agama orang India. Kata-kata “Hindu” dan “Hinduisme” sering digunakan oleh Inggris dengan efek fokus pada perbedaan agama antara kaum muslim dan orang-orang yang menjadi dikenal sebagai “Hindu”. Ini dilakukan dengan niat yang agak sukses menciptakan gesekan di kalangan masyarakat India. Hal ini sesuai dengan kebijakan Inggris atas pembagian dan aturan untuk membuatnya lebih mudah bagi mereka yang terus berkuasa atas negeri itu.

Namun, kami harus menyebutkan bahwa orang lain yang mencoba untuk membenarkan kata “Hindu” sekarang adalah gagasan dari para Resi terdalu, beberapa ribu tahun yang lalu, juga disebut India tengah Hindustan, dan orang-orang yang tinggal di sana adalah Hindu. Sloka berikut, dikatakan dari Vishnu Purana, Padma Purana dan Samhita Bruhaspati, diberikan sebagai bukti, namun saya masih menunggu untuk mempelajari lokasi yang tepat di mana kita dapat menemukan ayat ini:

Beberapa referensi lain yang digunakan, meskipun lokasi yang tepat tidak saya yakini, meliputi:

Himalayam Samaarafya Yaavat Hindu Sarovaram

Tham Devanirmmitham desham Hindustanam Prachakshathe

Himalyam muthal Indian maha samudhram vareyulla

devanirmmithamaya deshaththe Hindustanam ennu parayunnu

Ini lagi menunjukkan bahwa daerah antara Himalaya dan Samudera Hindia disebut Hindustan. Dengan demikian, kesimpulan dari hal ini adalah bahwa semua orang India beragama Hindu tanpa memandang kasta dan agama. Tentu saja, tidak semua orang akan setuju dengan itu.

Orang lain mengatakan bahwa di dalam Rig Veda, Bharata disebut sebagai negara “Sapta Sindhu”, yaitu negara tujuh sungai besar. Hal ini, tentu saja, dapat diterima. Namun, tepatnya bab dan buku yang dapat berasal dari sloka ini perlu diluruskan. Meski demikian, beberapa orang mengatakan bahwa kata “Sindhu” merujuk pada sungai dan laut, dan tidak hanya ke sungai tertentu yang disebut “Sindhu”. Lebih jauh lagi, dikatakan bahwa dalam Weda Sansekerta, menurut kamus kuno, “sa” diucapkan sebagai “ha”. Jadi “Sapta Sindhu” diucapkan sebagai “Hapta Hindu”. Jadi, ini adalah bagaimana kata “Hindu” dianggap telah terwujud. Hal ini juga mengatakan bahwa Persia kuno Bharat disebut sebagai “Hapta Hind”, sebagaimana dicatat dalam klasik kuno mereka “Bem Riyadh”. Jadi, ini adalah alasan lain mengapa beberapa ahli mulai percaya bahwa kata “Hindu” itu berasal di Persia.

Teori lain adalah bahwa nama “Hindu” bahkan tidak berasal dari nama Sindhu. Mr A. Krishna Kumar dari Hyderabad, India menjelaskan. “Ini [Sindhu / Hindu] Pandangan ini tidak dapat dipertahankan karena India pada waktu itu mengagumkan peringkat tertinggi di dunia dalam hal peradaban dan kekayaan tidak akan tanpa nama. Mereka tidak aborigin yang tidak diketahui yang menunggu untuk ditemukan, diidentifikasi dan dibaptis oleh orang asing. “Dia mengutip sebuah argumen dari buku Self-Government di India oleh NB Pavgee, yang diterbitkan pada tahun 1912. Penulis menceritakan Swami tua dan sarjana sanskrit Mangal Nathji, yang menemukan Purana kuno yang dikenal sebagai Sham Brihannaradi di desa, Hoshiarpur, Punjab. Itu berisi sloka ini:

himalayam samarabhya yavat bindusarovaram

hindusthanamiti qyatam hi antaraksharayogatah

Sekali lagi lokasi yang tepat dari sloka tersebut dalam Purana hilang, tapi Kumar menerjemahkannya sebagai: “Negeri yang terletak di antara pegunungan Himalaya dan Bindu Sarovara (laut Cape Comorin) dikenal sebagai Hindusthan oleh kombinasi dari huruf pertama ‘hi’ dari ‘Himalaya’dan senyawa terakhir huruf ‘ndu’dari kata ‘Bindu’.”

Hal ini, tentu saja, dianggap telah melahirkan nama “Hindu”, menunjukkan asal pribumi. Kesimpulan bahwa orang-orang yang tinggal di daerah ini dengan demikian dikenal sebagai “Hindu”.

Jadi sekali lagi, dengan cara apapun teori-teori ini dapat menyajikan informasi mereka, dan dengan cara apa pun Anda melihat itu, nama “Hindu” mulai hanya sebagai tubuh dan penunjukan daerah. Nama “Hindu” menunjuk ke sebuah lokasi dan orang-orang dan awalnya tidak ada hubungannya dengan filsafat, agama atau budaya rakyat, yang pasti bisa berubah dari satu hal ke hal lain. Hal ini seperti mengatakan bahwa semua orang dari India adalah India. Tentu saja, yang dapat diterima sebagai nama yang mengacu ke sebuah lokasi, tapi bagaimana dengan agama mereka, iman dan filsafat? Ini dikenal dengan banyak nama sesuai dengan berbagai pandangan dan keyakinan. Jadi, mereka tidak semua orang Hindu, karena banyak orang yang tidak mengikuti sistem Veda sudah keberatan dengan menyebut diri mereka dengan nama itu. Maka “Hindu” bukanlah nama yang paling tepat dari sebuah jalan spiritual, tetapi istilah sanskrit Sanatana-dharma jauh lebih akurat. Budaya India kuno dan sejarah awal mereka adalah budaya Veda atau Veda Dharma. Sehingga lebih tepat untuk menggunakan nama yang didasarkan pada budaya bagi mereka yang mengikutinya, bukan nama yang hanya alamat lokasi suatu bangsa.

Tampaknya hanya dengan raja-raja Veda kekaisaran Wijayanagara pada tahun 1352 adalah kata “Hindu” digunakan dengan bangga oleh Bukkal yang menggambarkan dirinya sebagai “Hinduraya suratrana”. Sedangkan teks-teks Sansekerta utama, dan bahkan ritual-ritual yang telah dilakukan di kuil-kuil dari ribuan tahun yang lalu, menggunakan kata “Bharata” dalam referensi ke daerah saat ini india. Oleh karena itu, secara tradisional dan secara teknis lebih akurat untuk merujuk ke tanah India sebagai “Bharata” atau “Bharat varsha”.

Sayangnya, kata “Hindu” secara bertahap telah diadopsi oleh hampir semua orang, bahkan orang-orang India, dan sekarang diterapkan dalam cara yang sangat umum, begitu banyak sehingga, sebenarnya, bahwa sekarang “Hindu” sering digunakan untuk menjelaskan apa-apa dari kegiatan keagamaan bahkan kegiatan sosial India atau nasionalistis. Beberapa dari apa yang disebut “Hindu” peristiwa-peristiwa yang tidak didukung dalam literatur Veda, dan, karenanya, harus dianggap non-Veda. Dengan demikian, tidak sembarang orang bisa menyebut diri mereka sebagai “Hindu” dan masih dianggap sebagai pengikut jalan Veda. Juga bisa santai setiap aktivitas dapat disebut sebagai bagian dari Hindu dan berpikir panjang dianggap sebagai bagian dari budaya Veda sejati.

Oleh karena itu, jalan spiritual Veda lebih tepat disebut Sanatana-dharma, yang berarti abadi, pendudukan jiwa yang tidak berubah dalam hubungannya dengan Yang Mahatinggi. Sama seperti dharma dari gula adalah menjadi manis, ini tidak berubah. Dan jika tidak manis, maka itu bukan gula. Atau dharma dari api adalah untuk memberi kehangatan dan cahaya. Jika tidak seperti itu, maka itu bukan api. Dengan cara yang sama, ada Dharma tertentu atau sifat dari jiwa, yang Sanatana, atau abadi. Itu tidak berubah. Jadi ada keadaan dharma dan jalan dharma. Mengikuti prinsip-prinsip Sanatana-dharma dapat membawa kita kepada keadaan yang murni memperoleh kembali identitas rohani kita yang terlupakan dan hubungan dengan Tuhan. Ini adalah tujuan dari pengetahuan Veda dan sistem realisasi diri. Dengan demikian, pengetahuan tentang Veda dan semua literatur Veda, seperti pesan Krsna dalam Bhagavad-gita, serta ajaran-ajaran Upanishad dan Purana, tidak terbatas hanya “Hindu” yang terbatas pada wilayah tertentu atas planet atau keluarga kelahiran. Pengetahuan semacam itu sebenarnya dimaksudkan untuk seluruh dunia. Seperti setiap orang adalah makhluk rohani dan memiliki esensi spiritual yang sama seperti yang dijelaskan sesuai dengan prinsip-prinsip Sanatana-dharma, maka setiap orang harus diberi hak dan hak istimewa untuk memahami pengetahuan ini. Hal ini tidak dapat diadakan untuk kelompok atau wilayah eksklusif suatu penduduk.

Sanatana-dharma juga berkembang penuh filosofi spiritual yang mengisi celah-celah apa pun dapat dibiarkan oleh ajaran-ajaran filosofis agama lain yang kurang berkembang. Pengetahuan langsung tentang jiwa adalah sebuah “universal kebenaran rohani” yang dapat diterapkan oleh semua orang, dalam setiap bagian dunia, di setiap saat dalam sejarah, dan dalam setiap agama. Ini adalah abadi. Oleh karena itu, sebagai sebuah kebenaran rohani abadi, itu melampaui semua waktu dan sebutan duniawi. Pengetahuan tentang jiwa adalah esensi dari kebijaksanaan Veda dan lebih daripada apa arti nama “Hindu”, terutama setelah memahami dari mana nama itu datang.

Bahkan jika waktunya tiba pada zaman buruk Kali-Yuga setelah banyak ribuan tahun ketika agama Kristen, Islam, Buddha, dan bahkan agama Hindu (seperti yang kita sebut sekarang) mungkin hilang dari muka bumi, masih akan ada ajaran-ajaran Veda yang tetap sebagai sebuah kebenaran spiritual dan universal, bahkan jika kebenaran tersebut mungkin akan dilupakan dan harus didirikan kembali lagi di dunia ini oleh Tuhan Krsna sendiri. Aku ragu kemudian bahwa Beliau akan menggunakan nama “Hindu.” Beliau pasti mengatakan apa yang Beliau katakan ketika Beliau menyabdakan Bhagavad-gita terakhir kali.

Jadi, meskipun saya tidak merasa bahwa “Hindu” adalah istilah yang tepat untuk mewakili budaya Arya Veda atau jalan spiritual, saya juga menggunakan kata itu dari waktu ke waktu untuk arti yang sama karena sudah jadi bagian dari kosa kata semua orang . Kalau tidak, karena saya mengikuti jalan Veda Sanatana-dharma, saya menyebut diriku Sanatana-dharmist. Yang mengurangi kebutuhan untuk menggunakan label “Hindu” dan juga membantu memusatkan perhatian pada sifat universal jalan Veda. Oleh karena itu, saya mengusulkan bahwa semua orang yang menganggap dirinya sebagai orang Hindu mulai menggunakan istilah ini Sanatana-dharmist, yang tidak hanya mengacu pada terminologi Sansekerta yang benar, tapi juga lebih akurat menggambarkan karakter dan spiritual maksud sesungguhnya dari jalan Veda. Orang lain juga telah menggunakan istilah Sanatanis atau bahkan Dharmists, keduanya lebih dekat ke arti sesungguhnya dalam budaya Weda.

Namun, untuk tujuan-tujuan politik dan hukum mungkin nyaman untuk terus menggunakan nama Hindu untuk sementara waktu. Sampai istilah Sanatana-dharma atau Dharma Veda menjadi lebih diakui oleh hukum internasional dan masyarakat pada umumnya, “Hindu” dapat tetap berada di belakang istilah yang digunakan untuk pawai budaya Veda. Tapi dalam jangka panjang, itu adalah nama yang akan berubah dalam arti pandangan yang berbeda-beda karena kurangnya dasar linguistik yang nyata. Hanya didasarkan pada nilai-nilai orang-orang tempat di dalamnya, makna dan tujuan akan bervariasi dari orang ke orang, budaya ke budaya, dan tentu saja dari generasi ke generasi. Kita bisa melihat bagaimana hal ini terjadi dengan orang Inggris di India. Jadi, akan ada pelestarian masalah dengan nama dan mengapa beberapa orang dan kelompok tidak akan mau menerimanya.

Namun dengan terus-menerus dan meningkatnya penggunaan istilah Sanatana dharma atau Veda-dharma, setidaknya oleh orang-orang yang lebih sadar akan definitif dasar sanskrit istilah-istilah ini, mereka akan memperoleh pengakuan sebagai istilah yang lebih tepat. Itu hanya butuh waktu untuk membuat penyesuaian yang tepat.

Ini adalah cara untuk membantu menyembuhkan salah tafsir atau kesalahpahaman yang mungkin berasal dari penggunaan nama “Hindu,” dan juga mengakhiri alasan mengapa beberapa kelompok yang tidak peduli untuk mengidentifikasi diri mereka di bawah nama itu. Setelah semua, sebagian besar kelompok Veda, terlepas dari orientasi mereka dan jalan khusus yang mereka ikuti, pasti bisa bersatu di belakang istilah Veda Dharma.

LAMPIRAN: Srila Prabhupada, pendiri International Society of Krishna Consciousness, telah mengatakan hal yang berbeda pada waktu yang berbeda atau bagi orang yang berbeda mengenai penggunaan nama “Hindu”. Banyak kali anggota ISKCON tampaknya berpikir bahwa nama Hindu harus dihindari di semua biaya. Dan pada berbagai kesempatan Srila Prabhupada ISKCON bilang anggota tidak harus Hindu.

Namun, ia menjelaskan secara ringkas kepada Janmanjaya dan Taradevi dalam sebuah surat dari Los Angeles dari 9 Juli 1970 bahwa ada hubungan antara agama Hindu dan Krishna Consciousness: “Mengenai pertanyaan Anda: Hindu berarti budaya India. India kebetulan terletak di sisi lain Sungai Indus yang sekarang di Pakistan yang dieja Indus-dalam bahasa Sansekerta disebut Sindhu. Di mana “Sindhu” adalah salah eja oleh Eropa sebagai “Indus”, dan dari Indus kata ‘India’ datang. Demikian pula Arab biasanya mengucapkan sindhus sebagai Hindu. Ini [demikian] Hindu diucapkan sebagai Hindu. Ini bukanlah kata Sanskerta juga tidak ditemukan dalam literatur Veda. Tetapi budaya India atau Hindu adalah Veda dan mulai dengan Catur Varna dan Catur Ashrama. Jadi ini empat varna dan ashrama dimaksudkan untuk ras manusia yang benar-benar beradab. Oleh karena itu, kesimpulannya adalah sebenarnya ketika manusia beradab dalam arti sebenarnya dari istilah dia mengikuti sistem varna dan ashrama dan kemudian ia dapat disebut ‘Hindu’. Gerakan Kesadaran Krishna kita mengajarkan keempat varna dan empat ashrama, jadi tentu saja telah punya hubungan dengan Hindu. Jadi Hindu dapat dipahami dari sudut pandang budaya, bukan sudut pandang agama. Budaya tidak pernah agama. Religi adalah iman, dan budaya merupakan kemajuan pendidikan atau pengetahuan. ”

Dia lebih jauh mengatakan dalam sebuah surat dari Los Angeles, 16 Juli 1970, di mana dia menjawab pertanyaan untuk sebuah Nevatiaji: “9. Orang Amerika sangat cerdas dan anak laki-laki dan perempuan berkualitas sehingga mereka memahami prinsip-prinsip sebagaimana aslinya dan dengan demikian mereka menerimanya. Mereka memahami bahwa Gerakan Kesadaran Krsna bukanlah India atau Hindu, tetapi merupakan gerakan budaya bagi seluruh masyarakat manusia walaupun tentu saja karena yang datang dari India merupakan [orang] India dan Hindu sentuhan. ”

Dengan cara ini, Srila Prabhupada membedakan Kesadaran Krishna sebagai sebuah ke-universal-an, budaya dan gerakan spiritual yang dapat berdiri sendiri, terlepas dari agama tertentu dan perbedaan budaya. Namun, ia masih menceritakan bagaimana pastinya ada orang India dan Hindu memiliki hubungan dengan apa yang disajikan dalam gerakannya. Dan ini tidak harus dan tidak seharusnya benar-benar diabaikan atau dihindari. Kita tentu saja dapat bekerja sama untuk pelestarian dan promosi budaya Veda tanpa kesulitan dengan orang-orang yang mungkin lebih suka menyebut diri mereka Hindu, mengetahui hubungan kita dengan tradisi Veda.

AVATAR

Apakah Tuhan bisa menjelma ke dunia? Mungkin ini adalah pertanyaan yang sulit bagi agama non-Vedic karena sebagian besar dari agama-agama tersebut tidak mengakui perwujudan Tuhan. Hanya saja jika kita berani mengatakan Tuhan adalah Maha Mutlak, lalu apa sulitnya bagi Tuhan untuk mewujudkan diri dan muncul di alam material ini?

Sri Krishna dalam Bhagavad Gita 4.7 mengatakan bahwa dimanapun dan kapanpun pelaksanaan Dharma merosot dan Adharma merajarela, maka Beliau sendiri akan menjelma, “yad? yad? hi dharmasya gl?nir bhavati bh?rata abhyutth?nam adharmasya tad?tm?na? s?j?my aham”. Adapun misi dari Avatara ini lebih lanjut disampaikan dalam Bahagavad Gita 4.8, “paritr???ya s?dh?n?? vin???ya ca du?k?t?m dharma-sa?sth?pan?rth?ya sambhav?mi yuge yuge, menyelamatkan orang saleh, membinasakan orang jahat dan untuk menegakkan kembali prinsip-prinsip dharma.

Kata Avatara dapat ditemukan dalam kitab P?nini 3.3.120. Dalam bahasa Inggris, kata Avatara biasanya diterjemahkan sebagai “incarnation” dan biasanya diterjemahkan sebagai “inkarnasi Tuhan”. Namun terjemahan ini pada dasarnya kurang tepat karena yang disebut sebagai Avatara bukanlah Tuhan yang terlahir ke dunia material, tetapi kemunculan atau perwujudan yang mengemban misi khusus dalam menjaga tatanan Dharma atas Adharma. Perwujudan inipun tidak semata-mata hanya merupakan perwujudan Tuhan, tetapi dewa atau jiva-jiva agung lainnyapun bisa hadir sebagai Avatara. Avatara yang merupakan perwujudan Tuhan yaitu yang termasuk dalam Dasa Avatara, dan juga Tri Purusa Avatara. Sedangkan yang termasuk dalam perwujudan Dewa yaitu Sankaracarya dan Virabhadra yang merupakan perwujudan dewa Siva serta Vakratunda, Ekadanta, Mahodara, Gajavaktra, Lambodara, Vikata, Vighnaraja, dan Dhumravarna yang merupakan perwujudan dewa Ganesha. Sedangkan Avatara yang digolongkan dalam penjelmaan Jiva-Jiva yang mengemban misi khusus salah satunyanya dalah Nabi Isa yang dalam kitab Veda dikatakan sebagai Isaputra dan juga Muhammad.

Sepuluh Avatara Tuhan yang paling dikenal umat Hindu yang disebut Dasa Avatara diuraikan dalam Garuda Purana 1.86.10–11. Empat Avatara yang pertama dikatakan telah muncul pada Satya Yuga. Tiga avatar berikutnya muncul pada Treta Yuga, yang kedelapan pada dwapara Yuga dan kesembilan pada Kali Yuga. Sedangkan avatara kesepuluh, Kalki Avatara, diperkirakan muncul pada akhir Kali Yuga yang juga merupakan pertanda dimulainya siklus Yuga yang baru. Adapun masing-masing Avatara tersebut adalah;

  1. Matsya, yaitu perwujudan Tuhan sebagai ikan besar yang menyelamatkan Manu dari banjir besar.
  2. Kurma, merupakan perwujudan Tuhan sebagai kura-kura raksasa untuk menopang gunung Mandara dalam usaha para dewa dan asura dalam memperoleh tirta amerta dengan cara mengaduk lautan garbha.
  3. Varaha, merupakan perwujudan Tuhan sebagai babi hutan raksasa yang menyelamatkan bumi yang terlempar dari orbitnya dan membunuh raksasa Hiranyaksa.
  4. Narasimha, adalah perwujudan Tuhan sebagai manusia berkepala singa yang membunuh raja Hiranyakasipu yang kejam untuk menyelamatkan Prahlada yang merupakan pemuja Tuhan yang sangat taat.
  5. Vamana, adalah perwujudan Tuhan sebagai manusia cebol dan kerdil yang akhirnya mengalahkan keangkuhan Raja Bali.
  6. Parashurama, Penjelmaan Tuhan sebagai seorang pendeta Kesatria yang bersenjatakan kapak dan membunuh seribu raja-raja lalim di muka bumi ini.
  7. Rama, adalah penjelmaan Tuhan sebagai putra mahkota Ayodhya dan kisahnya dituliskan dalam kitab Ramayana oleh Maha Rsi Valmiki
  8. Krishna, adalah perwujudan Tuhan yang dituliskan dalam kitab Mahabharata yang ditulis oleh pengkodifikasi Veda sendiri, Maha Rsi Vyasa. Sebagaimana dijelaskan dalam Bhagavata Purana 1.3.28, kemunculan Krishna adalah kemunculan Tuhan dalam wujudnya yang asli (Bhagavan) dan merupakan sumber dari semua Avatara (Avatir).
  9. Gautama Buddha, yaitu kemunculan Tuhan sebagai putra raja di Kapilavastu dengan nama kecil Siddhattha Gotama dan memiliki misi mengembalikan ajaran Veda yang ditafsirkan keliru oleh para kaum Brahmana.
  10. Kalki, merupakan Avatara Tuhan yang diperkirakan akan muncul dengan mengendarai kuda putih dan bersenjatakan pedang terhunus dalam membasmi orang-orang jahat pada akhir Kali Yuga.

Dalam Bhagavata Purana Skanda satu juga dijelaskan 22 Avatara yang merupakan Perwujudan Visnu sendiri. Ke-22 Avatara tersebut yaitu;

  1. Catur Kumara, yaitu penjelmaan sebagai empat putra Dewa Brahma yang selalu berpenampilan seperti anak-anak sepanjang jaman (Bhagavata Purana 1.3.6)
  2. Varaha (Bhagavata Purana 1.3.7)
  3. Narada adalah perwujudan sebagai Rsi yang selalu keliling alam semesta dan senantiasa mengagungkan nama “Narayana”. (Bhagavata Purana 1.3.8)
  4. Nara-Narayana, yaitu perwujudan dua orang rsi kembar yang sangat bijak (Bhagavata Purana 1.3.9)
  5. Kapila adalah Rsi yang mendirikan filsafat Samkya, yaitu salah satu cabang filsafat yang mengedepankan metodologi ilmiah dalam Veda (Bhagavata Purana 1.3.10)
  6. Dattatreya digambarkan sebagai Avatara gabungan antara Brahma, Visnu dan Siva putra dari Rsi Atri and Anas?y? (Bhagavata Purana 1.3.11)
  7. Yajna, Putra Prajapati Ruci dan istrinya ?k?ti. Yang mengendalikan periode selama perubahan dari Sv?yambhuva Manu dan dibantu oleh para dewa seperti dewa Yama (Bhagavata Purana 1.3.12)
  8. Rishabha adalah penjelmaan sebagai seorang Raja, putra Raja Nabhi dan istrinya Merudev?. Dan memberikan contoh kesempurnaan hidup kepada umat manusia (Bhagavata Purana 1.3.13)
  9. Prithu yaitu penjelmaan sebagai raja dalam usahanya menghasilkan berbagai hasil petanian demi kesejahtraan kehidupan di Bumi (Bhagavata Purana 1.3.14)
  10. Matsya (Bhagavata Purana 1.3.15)
  11. Kurma (Bhagavata Purana 1.3.16)
  12. Dhanvantari, yaitu penjelmaan Tuhan sebagai pengajar ilmu pengobatan Ayurveda yang kita warisi sampai sekarang (Bhagavata Purana 1.3.17)
  13. Mohini, yaitu penjelmaan Tuhan sebagai wanita cantik yang mengelabui para asura dan memberikan tirta amerta pada para dewa saat pengadukan gunung Mandara (Bhagavata Purana 1.3.17)
  14. Narasimha (Bhagavata Purana 1.3.18)
  15. Vamana (Bhagavata Purana 1.3.19)
  16. Parasurama (Bhagavata Purana 1.3.20)
  17. Vyasa, yaitu Avatara Tuhan sebagai Maha Rsi yang berperan aktif mengkodifikasi Veda dan menuliskan purana-purana dan Itihasa sehingga menjamin keotentikan kitab suci Veda (Bhagavata Purana 1.3.21)
  18. Rama (Bhagavata Purana 1.3.22)
  19. Balarama (Bhagavata Purana 1.3.23)
  20. Krishna (Bhagavata Purana 1.3.23)
  21. Buddha (Bhagavata Purana 1.3.24)
  22. Kalki (Bhagavata Purana 1.3.25)

Selain ke-22 Avatara yang dijelaskan secara berurutan, dalam sloka-sloka berikutnya juga dijelaskan beberapa Avatara yang lainnya, yaitu antara lain:

  1. Prshnigarbha (Bhagavata Purana 10.3.41)
  2. Hayagriva (Bhagavata Purana 2.7.11)
  3. Hamsa (Bhagavata Purana 11.13.19)
  4. Avatra emas (Bhagavata Purana 11.5.32)

Yang dimaksud sebagai Avatara emas ini adalah Chaitanya Mahaprabhu yang muncul 500 tahun yang lalu dengan warna kulit seperti emas lumer dan menyebarkan gerakan Hari-nama Sankirtana.

Disamping itu, berdasarkan pada fungsinya dalam penciptaan alam semesta, juga dikenal istilah Purusa Avatara, yaitu Karanodakasayi Vishnu yang juga disebut Maha Visnu yang berbaring di lautan Ksirodaka dimana dari setiap pori-pori badan beliau muncul 1 alam semesta, Garbhodakasayi Vishnu adalah Ia yang masuk kedalam setiap satu alam semesta dan berbaring di lautan Garbhodaka dan dari pusar beliau muncul perwujudan seperti bunga padma dimana di atas bunga padma tersebut mahluk hidup pertama, Dewa Brahma dilahirkan, dan yang terakhir Ksirodakasayi Vishnu yang ada dalam setiap atom dan mahluk hidup.

Dalam fungsinya sebagai pengendali Tri Guna, atau tiga sifat alam (Satvam, Rajas dan Tamas) dikenal istilah Tri Guna Avatara, yaitu ekspansi Tuhan sebagai Brahma yang mengendalikan Rajas, Visnu mengendalikan Satvam dan Siva yng mengendalikan Tamas.

Sedangkan penjelmaan yang bertindak untuk menciptakan keturunannya di seluruh Semesta di alam material ini disebut dengan sebutan Manvantara Avatara.

Dismping jenis-jenis Avatara di atas, juga dikenal istilah Shaktyavesa dan Avesa Avatara, Purna dan Amsarupa avatara dan sebagainya.

Sumber:

  1. www.wikipedia.org
  2. www.vedabase.net
dikutip oleh iant Sulistiyanto
dari Vedasastra.com

Asal-usul Linggam Siva

IGN.Heka Wikana


Dalam Mahabharata Anussasana–Parva Bab XIX disebutkan bahwa Maharaja Yudhisthira mohon kepada kakeknya Bhisma agar menjelaskan tentang keagungan Dewa Siva. Kemudian Bhisma menjawab, Satu-satunya orang diseluruh alam semesta ini yang mengerti tentang siapa Dewa Siva adalah Krishna.

Seluruh tubuh dilumuri/dilumasi abu mayat yang berasal dari krematorium, badan berhiaskan tulang –tulang dan tengkorak manusia serta ular-ular berbisa, mengenakan jubah kulit binatang dengan dahi berhiaskan tilaka berupa tiga garis datar, adalah penampilan Dewa Siva yang sulit dimengerti. Apalagi kegiatan-kegiatannya memberikan berkah kepada para asura, minum lautan racun, mengajarkan pilsafat impersonal dalam wujud Sankaracarya dan membiarkan dirinya di puja oleh Sri Ramachandra (yang menjadi pujaannya)

Dari begitu banyak hal mengenai Dewa Siva, satu hal yang paling banyak mengagetkan banyak orang adalah pemujaan kepada kelaminnya yang disebut Siva Linga. Mengapa kitab suci Veda mengajarkan pemujaan kepada kelamin lelaki? Bagaimana ceritra yang melatarbelakangi pemujaan ini? Dalam penjelasannya atas sloka Caitanya-Caritamrta Madhya-Lila 20.273, Srila Prabhupada memaparkan makna simbolik pemujaan Siva –Linga. Beliau menjelaskan sebagai berikut :

“Dewa Siva dianggap ayah alam semesta material dan alam material dianggap sebagai ibu. Sang ayah dan sang ibu ini dikenal sebagai Dewa Siva dan Durga dewi. Keduanya adalah merupakan kelamin Dewa Siva dan kelamin devi Durga dipuja sebagai Siva-Linga. Keduanya adalah asal mula seluruh ciptaan alam material ini. Dengan demikian, kedudukan Dewa Siva adalah beliau berada antara makhluk hidup dan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain Dewa Siva bukanlah kepribadian Tuhan, dan bukan pula tergolong makhluk hidup biasa. Beliau adalah perwujudan kepribadian yang dipakai bekerja oleh Tuhan untuk melahirkan para makhluk hidup di dunia material”.

Dalam Padma Purana skanda I Bab XVI dan XVII, dijelaskan satu ceritra menarik yang melatar belakangi pemujaan kelamin Dewa Siva. Dikatakan bahwa dahulu kala kurban suci (yajna) besar dilaksanakan oleh Dewa Brahma di Puskara. Hadir dalam acara itu adalah; Sri Visnu, Siva, Indra dan para Dewa lainnya. Ketika waktu bertuah akan segera dimulai korban suci tersebut, Dewa Brahma menyuruh pembantunya untuk memanggil sang istri, Savitri devi, sebab seseorang tidak bisa melaksanakan yajna tanpa kehadiran sang istri. Pembantu itu kemudian pergi dan mendatangi Savitri devi dan berkata: “Oh Devi, cepatlah datang, api kurban suci telah dinyalakan dan waktu untuk memulai kurban suci telah dekat”.

Kemudian Savitri devi menjawab; “saya belum menghias rumah dengan baik, belanga dan kendi belum dicuci. Lagi pula, devi Laksmi istri Narayana belum tiba. Begitu pula Svaha istri Dewa Agni, Dhumorna istri Dewa Yamaraja, Gauri istri Varuna, Ganga atau Sarasvati dan juga Arundhati istri Vasistha serta wanita terhormat lain belum datang. Tolong beritahu suamiku Dewa Brahma, agar menunggu sebentar dan saya akan segera datang begitu semua wanita terhormat itu tiba.”

Kemudian sang pembantu kembali ke tempat upacara kurban suci, dan memberitahukan kepada Dewa Brahma bahwa Savitri devi sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan rumah-tangga dan tidak akan datang sebelum para sahabatnya itu tiba. Mendengar hal itu, Dewa Brahma jadi sedikit marah, dan menyuruh Dewa Indra segera pergi untuk mencarikan seorang wanita sebagai pengganti istrinya karena waktu bertuah untuk memulai kurban suci segera akan dilakukan.

Setelah mencari kesana kemari di Bumi, Dewa Indra melihat seorang wanita gembala sapi yang bernama Gayatri devi. Mengetahui bahwa si wanita masih gadis, dan kecantikannya jauh melebihi kecantikan wanita-wanita diplanet Sorgawi, tanpa mohon ijin dari ayah si gadis, Dewa Indra langsung saja membawa Gayatri devi menghadap Dewa Brahma. Begitu saling pandang Gayatri devi dan Dewa Brahma, keduanya langsung saling jatuh cinta. Kemudian atas perintah Sri Visnu, keduanya segera dinikahkan dengan upacara perkawinan yang disebut Gandharva – Vivaha.

Selanjutnya Gayatri devi diberikan tempat duduk kehormatan yang biasanya disediakan untuk istri Dewa Brahma yaitu Savitri devi, dan acara korban suci pun dimulai. Yajna besar itu berlangsung selama lebih dari 100 tahun Dewa ketika akhirnya Savitri devi, istri Dewa Brahma, tiba bersama Laksmi devi, Gauri devi dan istri para Dewa-Dewa lainnya. Melihat Savitri devi tiba, Dewa Visnu, Siva, Brahma, Indra dan semua para Dewa lainnya jadi malu dan takut. Savitri devi, kemudian melihat Gayatri devi duduk ditempat duduk yang seharusnya disediakan untuknya disamping Dewa Brahma. Kedua mata Savitri devi jadi marah dan dengan marah dia berkata kepada Dewa Brahma,”Kurban suci macam apa yang anda laksanakan dimana anda mencampakkan saya dan mengambil istri lain?”. Dewa Brahma berusaha menjelaskan kepada istrinya Savitri devi, bahwa para pandita upacara memberitahu kepadanya bahwa waktu untuk memulai upacara kurban suci telah tiba, dan tanpa istri upacara ini tidak dapat dilaksanakan. Maka atas perintah Dewa Brahma, Dewa Indra disuruhnya mencarikan istri lain yang secara pribadi diberikan kepada Dewa Brahma oleh Sri Visnu. Walaupun Dewa Brahma minta maaf kepada istrinya, namun Savitri devi bahkan menjadi semakin marah dan mengutuk para Dewa, dan semua kepribadian yang ada ditempat upacara tersebut. Kutukan kepada Dewa Siva adalah kelaminnya akan lepas dari dirinya. Kemudian Savitri devi berlari keluar meninggalkan para hadirin yang dalam keadaan kebingungan.

Semua yang hadir menjadi diam, kemudian Gayatri devi berdiri dan memberikan berkah untuk meniadakan akibat yang timbul dari kutukan Savitri devi. Gayatri devi juga memberkati Dewa Siva bahwa meskipun kelaminnya lepas dari dirinya, namun kelaminnya akan tetap suci dan akan dipuja oleh orang-orang diseluruh tiga dunia. Sejak saat itu, mereka yang ingin dapat anugrah dari Dewa Siva, memuja beliau dalam wujud LINGA-nya.

Sumber : Sri Krishna Kathamrta

dikutip oleh Iant Sulistiyanto

Sumber vedasastra.com

Bulan Sabit di Kepala Dewa Siva


Mengapa ada bulan sabit dikepala dewa Siva? Berikut adalah jawabannya, Dalam Bab VI skanda VI Srimad Bhagavatam disebutkan bahwa Prajapati Daksa menikahkan dua puluh jujuh putrinya dengan Dewa Chandra, penguasa Bulan, kemudian Daksa mengutuk Chandra dengan penyakit parah sehingga membuat Chandra tidak mampu memperoleh anak-anak dari semua istrinya.

Cetitra berikut diambil dari Brahma-Vaivarta Purana Brahma-khanda 9.49-53;

Chandra, mempunyai dua puluh tujuh istri , dari semua istrinya ini, Rohini yang paling cantik dan bergairah sangat disayangi oleh Dewa Chandra. Karena cintanya kepada Rohini, Dewa Chandra melalaikan kewajibannya kepada istri-istrinya yang lain, kemudian para istri-istri Dewa Chandra yang lain tersebut yang juga putri-putri Daksa, mengeluh kepada sang ayah. Karena merasa ditelantarkan putri-putrinya, Daksa menjadi murka, dan mengutuk Chandra. Karena dikutuk, Dewa Chandra menderita penyakit paru-paru. Dari hari ke hari kekuatan dan cahaya Dewa Chandra berkurang. Akhirnya Dewa Chandra minta perlindungan kepada Dewa Siva. Dewa Siva yang penuh kasih melegakan hati Chandra yang menderita sakit paru-paru dan menaruh Bulan di kepala Nya.

Dengan menumpang di kepala Dewa Siva, Chandra/Bulan menjadi kekal dan bebas dari segala bahaya.

Tam sivah sekhare krtva cabhavac chandrasekharah,

Nasti devesu lakesu sivac caharana-pancarah

Kemudian Dewa Siva dikenal dengan nama Chandrasekhara, sebab beliau menaruh Bulan di kepalanya. Oh para Dewa, tidak ada seorangpun yang lebih berkasih sayang selain Dewa Siva (sloka 59)

Mengetahui sang suami telah meninggalkan dirinya, putri-putri Daksa itu sedih dan menangis, lalu mereka datang menghadap sang ayah Daksa, putra Dewa Brahma. Putri-putri Daksa berkata, “Oh Ayah, dahulu kami mohon kepadamu agar kami mendapat berkah dari suami, tetapi kini bukan mendapat berkah darinya, melainkan dia telah meninggalkan kami. Oh Ayah,meskipun kami memiliki mata,kami hanya menemukan kegelapan di mana-mana. Sekarang kami sadar bahwa suami adalah mata satu-satunya bagi wanita.

Bagi wanita, suami itu sendiri adalah Narayana, ikrar dan agama purba. Wanita yang membenci atau mendengki suami malang dan bajik dan meninggalkannya, akan menderita di neraka jahanam selama matahari dan bulan bersinar di Bumi. Di sana (neraka) serangga-serangga yang bagaikan anjing menggigit dia siang malam. Bila lapar, dia terpaksa makan daging mayat. Dan untuk meniadakan rasa haus dan dahaga, dia terpaksa minum air kencing.

Selanjutnya dia harus lahir berkali-kali sebagai burung nazar (yang memakan bangkai), terus lahir sebagai babi betina selama seratus tahun, kemudian sebagai binatang buas selama seratus kali kelahiran. Ketika pada akhirnya dia lahir lagi sebagai manusia, dia jadi Janda, pengemis dan terus sakit-sakitan.

‘”Mohon kembalikan suami kami, Anda adalah putra Dewa Brahma, dan anda cukup perkasa untuk menciptakan sendiri satu alam semesta “

Mendengar kata-kata dari semua putrinya itu, Daksa lalu pergi menghadap Dewa Siva, Dewa Siva bangkit dari tempat duduknya, dan sujud menghormati Daksa. Daksa lalu memberkati Dewa Siva, melihat perilaku Dewa Siva yang rendah hati, kemarahan Daksa menjadi hilang;

Kemudian Daksa berkata, Oh Dewa Siva, mohon kembalikan menantuku yang dicintai oleh putri-putriku yang melebihi nyawanya sendiri. Anda juga adalah menantuku. Jika anda tidak mengembalikan Chandra kepadaku, saya akan ucapkan kutukan keras atas dirimu “.

Setelah mendengar Daksa bicara, Dewa Siva mengucapkan kata-kata yang terdengar lebih manis dari amrita. Dewa Siva berkata” Anda boleh bakar saya jadi abu, atau ucapkan satu kutukan atas diriku sesuai kehendakmu, tetapi saya tidak bisa mengembalikan Chandra (Bulan) yang telah berlindung kepadaku.”

Mendengar kata-kata Dewa Siva demikian, Daksa hendak mengucapkan kutukan atas Dewa Siva, Dewa Siva ingat Govinda, pada saat itu pula Sri Krishna muncul disana dalam wujud seorang Brahmana tua. Baik Dewa Siva maupun Daksa sujud kepada Brahmana tersebut dengan penuh hormat. Beliau memberkati mereka berdua dan berkata kepada Dewa Siva:

Sri Krishna berkata; “Oh Siva, tidak ada apapun yang lebih disayangi oleh semua mahluk hidup selain dirinya sendiri. Dengan merenungi hal ini, Oh penguasa para Dewa, anda hendaknya selamatkan dirimu dengan memberikan Chandra kepada Daksa. Anda adalah tempat berlindung terbaik, anda tenang, anda adalah Vaisnava yang paling terkemuka dan anda memperlakukan segala makhluk dengan cara yang sama. Anda bebas dari tindak kekerasan dan kemarahan. Daksa adalah putra perkasa Dewa Brahma dan dia berwatak pemarah. Dewa yang mulia mengalah dihadapan yang sedang marah”.

Dewa Siva tersenyum dan berkata: saya bisa mengorbankan pertapaan saya, kemuliaan saya, semua keberhasilan saya, kekayaan dan bahkan nyawa saya sendiri. Tetapi saya tidak bisa meninggalkan orang yang telah berlindung kepada saya. Dia yang telah mencampakkan seseorang yang telah berlindung kepadanya, akan ditinggalkan oleh Dharma. Oh Tuhanku, anda tahu betul tentang Dharma. Mengapa anda mengucapkan kata-kata yang dipengaruhi khayalan? Anda adalah pencipta dan pelebur segala sesuatu. Orang yang berbhakti kepada Mu tidak takut kepada siapapun.

Tuhan yang mengetahui betul perasaan setiap orang, mendengar kata-kata Dewa Siva dengan seksama. Kemudian beliau mengambil setengah bagian Chandra (Bulan) yang sakit dan memberikannya kepada Daksa. Selanjutnya Beliau mengambil setengah bagian Bulan yang sehat dan menaruhnya di kepala Dewa Siva.

Melihat Bulan tergerogoti oleh penyakit paru-paru, Daksa kemudian berdoa kepada Sri Krishna. Beliau lalu mengatur bahwa Bulan akan bercahaya penuh selama dua minggu, dan tidak akan bercahaya selama dua minggu berikutnya. Demikianlah, setelah memberkati Dewa Siva dan Daksa, Sri Krishna kembali ketempat tinggal Nya.

Sumber : Sri Krishna Kathamrta

Dikutip Dari vedasastra.com

Ayurveda, Ilmu Kedokteran Veda

Manuskrip Atreya Samhita, Caraka dan Susruta adalah salah satu dari beberapa manuskrip yang memuat ilmu pengobatan yang merupakan Upaveda atau cabang kitab suci Atharva Veda. Selanjutnya kumpulan kitab-kitab pengobatan ini disebut sebagai Ayurveda. Kata Ayurveda tersusun dari dua suku kata, yaitu Ayu dan Veda, yang secara harfiah berarti “Ilmu tentang umur”, sehingga Ayurveda dapat dikatakan sebagai ilmu yang mengajarkan tentang kesehatan individu dan teknik-teknik menyembuhkan penyakit, sehingga diharapkan kualitas hidup dan batas usia seseorang akan menjadi lebih baik.

Beberapa sejarahwan Barat mengatakan bahwa Ayurveda setidaknya telah ada 1500 SM, bahkan beberapa diantaranya meyakini angka yang lebih tua lagi, yaitu 3000 SM. Sehingga semua pakar sejarah dan arkeolog meyakini bahwa Ayurveda merupakan buku medis tertua di dunia. Mereka meyakini Dhanvantari dan Divodasa (Raja Kasi) sebagai pelopor pengembangan teknik pengobatan Ayurveda.

Mengingat kedudukan Ayurveda yang merupakan bagian dari Catur Veda, kitab Sruti tertua umat Hindu. Maka jika kita merunut umur ilmu pengobatan Ayurveda berdasarkan sloka-sloka yang ada dalam Veda itu sendiri maka kita akan menemukan angka tahun yang jauh lebih mengejutkan lagi, yaitu 55,52 triliun tahun SM. Ayurveda diturunkan dari dewa Brahma, Sang Pencipta alam material sendiri, kepada Dewa Kembar Aswin, dan kemudian kepada Indra. Kemudian dikatakan Ayurveda bercabang ke dalam dua aliran, pengobatan dan ilmu bedah. Bharadvaja, Atreya Punarvasu dan enam muridnya seperti Agnivesa dan Ksirapani kemudian mendirikan ilmu pengobatan/kedokteran umum, sementara Susruta mendirikan ilmu bedah. Tentunya angka ini adalah angka yang sangat mengejutkan bagi para sejarahwan dan arkeolog kaum indologis karena kitab suci agama mereka meyakini Bumi baru diciptakan 6000 SM. Itulah penyebab utama yang mengakibatkan semua hipotesa kaum Indologis akan segala hal di dunia ini tidak pernah melampaui angka 6000 SM.

Ayurveda adalah ilmu pengobatan yang sangat lengkap yang meliputi teknik operasi dan pembedahan, terapi warna dan aroma, serta ilmu gizi dan gaya hidup sehat. Dalam Ayurveda kita juga akan menemukan bahasan yang lengkap prihal asal-usul penyakit dan teknik penyembuhannya.

Dari sekian banyak metode pengobatan/treatment dalam Ayurveda, secara umum dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

  1. Deva-vyapasraya (Astronomical) treatment dilakukan untuk pengobatan akibat penyakit Karmaja atau penyakit yang muncul akibat dosa-dosa dari tindakan yang dilakukan pada kehidupan di masa lalu.
  2. Yukti-vyapasraya treatment adalah pengobatan yang ditujukan untuk mengobati penyakit Dosaja atau penyakit yang disebabkan oleh ketidakseimbangan tiga Dosha (vatta, pita dan kafa).

Ayurveda memberikan treatment alami untuk semua jenis penyakit yang disebabkan oleh ketidakkonsistenan fisiologi dalam tubuh. Sehingga penyembuhan penyakit dari teknik Ayurveda terletak pada sifat-sifat alamiah badan itu sendiri. Alam dan badan ini tersusun dari lima elemen dasar, yaitu; Akasha, Bayu (udara), Agni (api), Jala (air) dan Prthivi (bumi). Dari lima unsur tersebut, hanya tiga unsur yang memegang peranan penting dalam pembentukan dan deformasi alamiah, yaitu; Bayu (udara), Agni (api), dan Jala (air). Berdasarkan prinsip yang sama, sistem Ayurveda mengeliminir sumber segala penyakit yang didasarkan pada tiga Dosha, yaitu: vata (udara yang ada dalam tubuh), pita (api atau panas dalam tubuh) dan kafa (air dalam tubuh).

Salah satu sloka dalam kumpulan kitab Ayurveda menyebutkan; “Tanpa perusakan dari unsur Dosha, tidak mungkin penyakit muncul. Jika Dosha tidak terdeteksi, treatment harus dilanjutkan berdasarkan gejalanya”.

Inti pengobatan Ayurveda, seperti yang ditunjukkan dalam sloka ini, terletak pada perawatan Dosha. Sehingga penekanan utama dalam Ayurveda adalah perawatan, mulai dari perawayan mata, telinga, hidung dan tenggorokan (shalakyachikitsa), perawatan anak, dan ginekologi osteric (kaumarabhritya) dan perawatan kesehatan mental (bhutavidya) yang dilakukan dengan berbagai teknik Yoga dan konsumsi makanan sehat. Namun jika penyakit sudah muncul akibat ketidakseimbangan Dosha, maka teknik yang harus di ambil adalah pengobatan (kayachikitsa) dan/atau tindakan operasi (Shalyachikitsa)

Sloka lainnya mengatakan, “Jika seseorang telah mengikuti rejimen (aturan untuk diet atau puasa secara disiplin), ia tidak perlu menggunakan obat-obatan”. Jadi, teknik Ayurveda adalah pengobatan yang berdasarkan sifat-sifat alamiah yang juga menekankan pada pola hidup alami dan treatment naturopathic untuk meningkatkan kesehatan.

Teknik Panchakarma yang menekankan terapi pada titik-titik tertentu di badan juga merupakan salah satu teknik yang sangat penting dalam Ayurveda. Pada dasarnya teknik Akupuntur yang selama ini dikatakan berasal dari China juga merupakan bagian dari teknik Panchakarma. Demikian juga dengan teknik Accupresser yang di beberapa tempat praktek pengobatan di Indonesia diklaim sebagai pengobatan “sunah nabi” pada dasarnya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari teknik Panchakarma dalam Ayurveda.

Ayurveda juga mempertimbangkan aspek astronomi dan astrologi. Kedudukan planet-planet dan bintang di alam semesta terhadap mahluk hidup di Bumi dan juga posisi benda-bedan di sekitar kita sangat mempengaruhi kondisi fisik, mental dan karakter seseorang. Sehingga potensi penyakit yang mungkin diderita seseorang dalam hidupnya bias diprediksikan berdasarkan tempat dan waktu kelahirannya. Hal ini juga menyebabkan treatment Ayurveda yang diberikan terhadap seseorang tidaklah selalu sama dengan treatment yang diberikan terhadap orang yang lain.

Penyakit juga diyakini disebabkan oleh papa-karma atau dosa yang dilakukan di kehidupan masa lalu. Hal ini ditegaskan dalam salah satu sloka yang menyebutkan: “Suatu dosa yang dilakukan di kehidupan masa lalu dapat memberikan masalah dalam bentuk penyakit dalam kehidupan sekarang”. Upaya menyembuhkan penyakit akibat papa-karma dapat dilakukan melalui Yadnya/korban suci, Japa, Homa/Agni Hotra, dan Pudja serta diikuti dengan kayachikitsa (konsumsi obat-obatan herbal).

Berkenaan dengan kayachikitsa, dikenal juga istilah yukti-vyapasraya, yaitu upaya membasmi virus, bakteri dan senyawa patogen lainnya dalam tubuh dengan menggunakan bahan-bahan herbal dimana komposisinya harus disesuaikan dengan kondisi tubuh pasien, cuaca, lingkungan dan waktu pemberian ramuan. Hanya saja teknik ini tidak semuanya ditujukan untuk mengobati secara langsung, melainkan beberapa diantaranya hanya untuk menekan gejala dan rasa sakit. Sakit kepala migrain, hipertensi, diabetes dan asma adalah beberapa contoh penyakit yang ditangani dengan yukti-vyapasraya dan bertujuan hanya menahan rasa sakit dan gejalanya saja. Untuk penyakit seperti ini, termasuk kanker dan AIDS harus dibarengi dengan teknik Ayurveda yang lainnya.

Dikatakan bahwa meredupnya unsur Agni di dalam tubuh akan menurunkan resistensi kita terhadap penyakit. AIDS adalah salah satu penyakit yang paling ditakuti yang menyebabkan meredupnya unsur Agni ini. Sehingga untuk mengobati AIDS, Ayurveda memberikan teknik untuk mengembalikan unsur Agni seperti sedia kala dengan melalui latihan Yoga, Naturopathy dan Panchakarma.

Berkaitan dengan tindakan operasi (Shalyachikitsa), dalam The Book of Origins, karya Trevor Homer, Penguin Books, London, 2007 disebutkan bahwa pada milenium pertama sebelum masehi pendarahan pada hidung sangat lazim terjadi karena kasus pemotongan hidung tawanan pada saat peperangan. Dan sekitar tahun 500 SM, dikatakan Sushruta dari India dengan teknik Ayurveda berhasil mengadakan rhinoplasty atau operasi mengembalikan bentuk hidung. Sushruta menjelaskan potongan kulit dari kepala dapat tumbuh di bekas luka hidung yang terpotong.

Dalam sepucuk surat kepada editor majalah Gentlemen’s Magazine yang tersedia di perpustakaan Wellcome Institute for History of Medicine, 183 Euston Road, London menjelaskan bahwa pernah ada seorang pengemudi bernama Cowasjee, yang membantu melayani tentara Kerajaan Inggris di India di tahun 1792. Sebelumnya, ia pernah dipenjara oleh tentara Tipu Sultan, dimana mereka mencopot hidungnya karena prilaku barbar penguasa Muslim dalam menyiksa dan melumpuhkan tawanan. Sekembalinya di rumahnya di Pune setahun kemudian, seorang ahli bedah Ayurvedic menanganinya dengan memasangkan sebuah hidung baru. Thomas Cruso dan James Trindlay, merupakan dua orang dokter Inggris yang menjadi saksi mata operasi bedah yang mencengangkan tersebut. Mereka menjadi saksi hidup atas operasi-operasi ajaib yang sangat umum dilakukan di India bahkan selama mereka di sana.

Dalam buku As Seen and Known by Foreigners karya G.K. Deshpende (1950), Dr. Sir William Hunter mengatakan bahwa dokter-dokter bangsa India kuno sangat mahir dan ahli. Mereka melakukan tindakan amputasi, menghentikan pendarahan dengan tekanan, perban pembalut dan minyak mendidih, mempraktekan lithotomy, melakukan operasi pada organ bagian dalam dan uterus, menangani hernia, fistula files, memperbaiki tulang patah dan salah posisi dan cekatan dalam memisahkan unsur-unsur asing dari tubuh.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu pengobatan Ayurveda bukanlah ilmu pengobatan tradisional biasa dan tanpa dasar, tetapi merupakan ilmu pengobatan holistik paling kuno yang dapat disejajarkan dan mungkin lebih maju dari ilmu kedokteran modern saat ini. A.L. Basham dalam bukunya The Wonder That Was India juga membenarkan kenyataan ini dengan menyebutkan bahwa sampai abad ke-18, ketika para ahli bedah East India Company (British) tidak malu-malu mempelajari ilmu bedah plastik (rhinoplasty) dari ilmu Ayurveda peninggalan India kuno”

Banggalah menjadi penganut Veda… Banggalah menjadi Hindu…

Sumber : vedasastra.com

Mengapa Dewa Siva Berpenampilan "Nyentrik"?

Gambar atau lukisan Dewa Siva pasti memberikan kesan tersediri bagi siapapun yang mau merenung. Beliau adalah Deva yang paling agung sehingga nama lainnya adalah Mahadewa. Tetapi penampilannya sungguh tidak mencerminkan keagungannya. Dewa Siva mengolesi seluruh tubuhnya dengan abu mayat, bercelana kulit binatang, berkalung dan bergelang ular cobra, menghias tubuhnya dengan tulang belulang dan kadang kala untaian tengkorak manusia melingkar dilehernya. Dengan kata lain, Dewa Siva berpenampilan sungguh nyentrik. Mengapa demikian? Padma Purana Uttara-Khanda Bab 235-236 menjawab dengan penuturan ceritra dialog antara Dewa Siva sendiri dengan istrinya, Dewi Parwati.

Dewi Parwati berkata, Junjunganku, anda pernah memberitahu saya agar seseorang menghindar bicara dengan pasandi, orang asurik yang atheistic. Jika bicara dengannya, maka itu akan lebih buruk daripada berbicara dengan orang candala, orang buangan amat kotor dan hina, Mohon beritahu hamba, bagaimana tanda-tanda orang pasandi dan cirri-ciri pisik yang nampak pada dirinya.

Dewa Siva menjawab, orang-orang yang diliputi kebodohan menyatakan devw lain siapapun lebih tinggi kedudukannya dari Visnu, sang penguasa jagat, mereka inilah disebut pasandi, orang orang brahmana yang tidak mengenakan tanda dan simbul seperti sanka, cakra dan tilaka pada dahinya, mereka inilah disebut pasandi. Orang brahmana yang tidak menuruti sastra, tidak memiliki bakti kepada Tuhan, orang yang berperilaku menurut kemauannya sendiri, dan menghaturkan persembahan ke dalam api korban suci (yajna) untuk memuja dewa-dewa selain Tuhan Yang Maha Agung, Sri Visnu, juga disebut pasandi. Sebab Sri Visnu lah penikmat segala persembahan yajna dan pujaan para brahmana.

Mereka yang menganggap Sri Visnu setingkat dengan dewa-dewa lain seperti Brahma dan saya sendiri Rudra, harus selamanya dianggap pasandi.

Dewi Parvati berkata, Junjunganku, oh dewa terbaik, hamba ingin bertanya sesuatu yang rahasia. Atas dasar cinta kepadaku, mohon jawab pertanyaan hamba, hamba sangat ragu, sastra mencela memakai tengkorak manusia, menghias badan dengan abu mayat dan mengenakan kulit binatang. Tapi anda sendiri melakukan semua itu, anda belum pernah menjelaskan semua ini kepda hamba, karena itu, oh junjungan hamba, maafkan pertanyaan hamba.

Ditanya seperti itu, Dewa Siva menjelaskan kepada sang istri rahasia besar tentang perilakunya sendiri. Dahulu kala pada masa pemerintahan Syayambhu Manu, hidup banyak asura perkasa seperti Mamuci, musuh para dewa (Bhagavata Purana 8.11.23-40). Mereka gagah perkasa, semua memuja Sri Visnu, dan melakukan penebusan dosa. Melihat kenyataan ini, para dewa yang dipimpin oleh deva Indra menjadi frustasi dan ketakutan, lalu mendatangi Sri Visnu dan berlindung kepada-Nya.

Para Dewa berkata, oh Kesava, hanya andalah yang mampu menaklukkan para asura yang perkasa ini. Mereka tidak bisa dikalahkan oleh para Dewa, dan mereka telah menghapus dosa-dosanya melalui pertapaan.

Dewa Siva lanjut berkata, mendengar kata-kata para dewa yang ketakutan, Sri Visnu, Purusotama, memenangkan mereka. Lalu Beliau berkata kepadaku sebagai berikut, oh Rudra yang berlengan perkasa, oh Dewa yang terbaik, untuk membingungkan musuh-musuh para dewa, mohon dirancang perilaku untuk diikuti oleh para pasandi. Tuturkan kepada mereka kitab-kitab purana gelap (purana dalam sifat tamas) yang akan menyesatkan mereka, Oh anda yang cerdas, anda hendaknya ciptakan kitab-kitab agama yang akan menyebabkan para asura kebingungan.

Melalui kebhaktian kepada-Ku dan demi kebaikan seluruh jagat, anda hendaknya mendekati para rishi yang perperangai atheistic seperti Kanada, Gautama, Sakti, Upamanyu, Jaimini, Kapila (bukan Kapila putra Devahuti), Durvasa, Mrikiandu, Brhaspati, Bhargava dan Jamadagni. Masukan kedalam pikiran mereka tenagamu yang mengandung kemauanmu. Dengan dimasuki oleh tenagamu, mereka akan menjadi para pasandi besar. Dengan diberikan kekuatan olehmu, orang-orang brahmana ini akan menuturkan keseluruh tiga dunia kitab-kitab purana dan ajaran-ajaran rohani dalam sifat kegelapan (tamasa-guna) Oh Siva, pada dirimu sendiri, anda hendaklah mengenakan hiasan berupa tulang-tulang dan tengkorak manusia, abu mayat dan kulit binatang. Dengan penampilan demikian, bingungkan semua di seluruh tiga dunia. Anda juga hendaklah meresmikan ajaran kehidupan Pasupata beserta bagian-bagian kelompoknya seperti Kankala, Saiva, Pasanda, dan Mahasaiva. Melalui orang-orang ini hendaknya anda ajarkan satu doktrin yang para pengikutnya tidak mengenakan pengenal khusus dan mereka hidup diluar ajaran veda. Berhiaskan tulang-tulang dan abu mayat,mereka akan kehilangan kesadaran yang lebih tinggi dan akan menganggap anda sebagai Tuhan.

Dengan menuruti doktrin demikian, semua asura dalam sekejap akan menjadi tidak peduli kepada-Ku, tidak ada keraguan tentang hal ini, oh Rudra nan perkasa, dalam setiap jaman, dalam reinkarnasi-Ku yang berbeda-beda, Aku juga akan memuja dirimu untuk menipu para asura. dengan menuruti doktrin-doktrin demikian, pasti mereka akan jatuh.

Dewa Siva lanjut berkata kepada Devi Parvati, oh anda nancantik, setelah mendengar kata-kata Sri Visnu, meskipun saya berbicara fasih, saya jadi tak berdaya dan diam. Kemudian setelah sujud kepada Beliau, saya berkata, oh Tuhan ku, jika hamba laksanakan apa yang anda telah katakana, itu pasti akan menuntun diri hamba menuju kehancuran spriritual. Tidaklah mungkin bagi hamba melaksanakan perintah-Mu. Tetapi perintah-Mu harus dilaksanakan, ini sungguh menyakitkan.

Oh, Dewi, mendengar kata-kataku, Sri Visnu bicara begitu rupa untuk mengembalikan kebahagiaanku, Beliau berkata ini tidak akan menyebabkan kehancuranmu. Lakukan seperti apa yang saya perintahkan demi kebaikan para Dewa. Saya juga akan memberi anda cara-cara mempertahankan diri sementara anda sibuk mengajarkan filsafat asurik ini.

Lalu dengan penuh kasih Sri Visnu memberikan doa-doa pujian yang dikenal dengan nama Visnu-sahasra-nama kepadaku. Beliau berkata dengan menempatkan diri-Ku dihatimu, ucapkan mantra-Ku yang abadi ini. Mantra nan perkasa yang terdiri dari enam baris kata ini, berhakekat spiritual dan menganugrahkan pembebasan bagi mereka yang memuja-Ku dengan bhakti. Tidak ada keraguan akan hal ini.

Indivara-dala syamam padma patra-vilocanam

sankhanga-sarngesu-dharam sarvabharana-bhusitam

pita-vastram catur bahum janaki-priya vallabham

sri ramaya nama ity evam uccaryam mantram-uttamam

sarva duhkha haram caitat papinam api mukyi-dam

imam mantram japan nityam amalas tvam bhavisyasi


Hamba sujud kepada Beliau yang berwarna gelap bagaikan bunga padma biru, yang bermata seindah bunga padma, memegang sanka, cakra dan busur sranga, berdandankan berbagai macam perhiasan, mengenakan jubah kuning, bertangan empat dan pujaan tercinta sita devi. Mantra paling utama sriramaya namah hendaklah diucapkan. Mantra ini meniadakan segala kesedihan dan bahkan memberikan pembebasan kepada orang-orang berdosa.Orang yang secara teratur mengucapkan mantra ini, akan bebas dari segala dosa. (Padma purana 235.44-46)

Segala reaksi dosa akibat memoleskan abu mayat dan mengenakan tulang-tulang orang mati sebagai hiasan pada badan akan hapus dan segala sesuatu jadi bertuah dengan mengucapkan mantra-Ku ini. Oh Dewa yang paling baik, atas karunia-Ku, bhakti hanya kepada-Ku akan timbul. Pujalah diri-Ku, didalam hatimu, turuti perintah-Ku, karena cinta kasih (bhakti) kepada-Ku, maka segala sesuatu akan menjadi bertuah bagimu.

Setelah memberi perintah demikian kepadaku, oh Dewi, lalu Beliau meninggalkan para dewa yang berkumpul itu, kembali ketempat tinggalnya masing-masing. Para dewa yang dipimpin oleh Indra itu memohon kepadaku, oh Mahadeva, Siva segeralah laksanakan kegiatan kegiatan yang menguntungkan ini, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Sri Visnu.

Mahadeva lanjut berkata kepada Dewi Parvati, oh anda nan suci, demi kebaikan para dewa, maka saya berperilaku seperti pasandi. Semenjak itu saya mulai mengenakan untaian kalung tengkorak dan tulang-tulang, memoleskan abu mayat dan mengenakan kulit binatang pada badanku. oh anda nan suci, sebagaimana diperintahkan oleh Sri Visnu, kemudian saya menyebarkan kitab-kitab purana tamasik (purana dalam sifat tamas, kegelapan) dan ajaran-ajaran saivaisme yang pasandi, atheistik.

Oh, anda yang tak berdosa, dengan memasuki Gautama dan para brahmana lain melalui tenagaku, saya menyebarkan ayat-ayat agama diluar ajaran veda. Dengan menuruti sistim pemujaan yang saya berikan, maka semua asura jahat menjadi tak perduli kepada Sri Visnu, dan mereka diliputi kebodohan. Dengan mengoleskan abu mayat ketubuhnya dan melaksanakan pertapaan keras, mereka berhenti memuja Sri Visnu dan hanya memujaku dengan mempersembahkan daging, darah dan pasta cendana.

Dengan mendapar berkah dariku, orang-orang asura itu menjadi mabuk dengan kekuatan dan kebanggan. Mereka amat melekat pada objek-objek indriya, penuh nafsu dan kemarahan. Dalam keadaan seperti itu, tanpa sifat baik apapun, mereka akhirnya dikalahkan oleh para deva. Tanpa pengetahuan tentang jalan kehidupan yang benar, mereka yang menuruti ajaranku ini pasti masuk neraka.

Oh Dewi, demikianlah perilaku ini hanya untuk diriku saja demi kebaikan para dewa. Dengan menuruti perintah Sri Visnu, maka saya menghias diriku dengan abu mayat dan tulang tulang orang mati. Ciri-ciri jasmani ini hanya dimaksudkan untuk menipu orang-orang asurik. Didalam hatiku saya selalu bermeditasi kepada Tuhan, Sri Visnu dan senatiasa mengucapkan mantra-Nya. Dengan mengucapkan mantra utama yang terdiri dari enam suku kata (om ramaya namah) ini, kita senantiasa merasakan gairah amrita kekal kebahagiaan. Oh wanita mulia berwajah indah, saya telah jawab semua yang anda tanyakan. Dengan penuh kasih, saya bertanya kepadamu, apa lagi yang anda ingin dengar ?.

Dewi Parvati berkata, Oh anda nan suci, beritahulah saya tentang kitab-kitab suci tamasik bikinan para brahmana yang tidak memiliki bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oh penguasa para dewa, mohon beritahu nama-namanya secara berurutan.

Deva Siva menjawab, Oh Devi, dengarlah. secara berurutan saya akan sebutkan kepadamu tentang ayat-ayat agama tamasik. Hanya dengan mengingat ayat-ayat agama tamasik ini, bahkan orang bijaksana sekalipun akan tertipu. Pertama, saya sendiri menyebarkan ajaran saiva, pasupata dan ayat-ayat agama serupa. Setelah tenagaku memasuki dirinya, lalu Rishi Kanada menyebarkan filsafat vaisesika. Begitu pula Gautama mengajarkan filsafat nyaya, dan Kapila mengajarkan pilsafat samkhya yang atheistik. Brhaspati mengajarkan doktrin Carvaka yang banyak dicela, dan Visnu sendiri dalam wujud sang Buddha menyebarkan ajaran palsu buddhisme untuk menghancurkan para asura.

Filsafat mayavada ini adalah kepercayaan kotor dan jahat.Pilsafat ini adalah ajaran Buddhisme terselubung. Parwati tercinta, pada masa Kali-Yuga saya lahir dalam wujud seorang brahmana dan mengajarkan pilsafat rekayasa ini. (Padma Purana 6.236.7).

Filsafat mayavada ini menyebabkan kata-kata dari ayat-ayat kitab suci kehilangan makna sebenarnya, sehingga filsafat ini dicela di dunia. Filsafat ini menganjurkan supaya orang meninggalkan tugas-kewajibannya, sebab orang yang telah jatuh dari tugas dan kewajibannya berkata bahwa meninggalkan tugas dan kewajiban adalah ajaran agama yang sebenarnya. Saya juga mengajarkan bahwa Tuhan dan roh individual adalah sama. (Padma Purana 6.236.8-9).

Dengan maksud untuk membingungkan orang-orang atheistik pada masa Kali-Yuga, saya jelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah tanpa wujud dan tanpa sifat serta ciri apapun (Padma Purana 6.236.10).

Begitu pula dalam menjelaskan Vedanta-sutra, saya ajarkan pilsafat mayavada yang sama dengan maksud untuk menyesatkan seluruh penduduk ke arah atheisme dengan menolak adanya wujud pribadi Tuhan Yang Maha Esa. (Padma Purana 6.236.11).

Demikian dewa Siva menjelaskan tentang diri dan ajarannya kepada sang istri dewi Parvati.

Sloka-sloka Padma-Purana diatas dikutip dalam Caitanya-Caritamrta Adi – Lila Bab VII. Sri Caitanya mengutip sloka-sloka ini ketika berdiskusi dengan Prakasananda Sarasvati dan para sannyasi mayavadi di Benares. Beliau berkehendak menunjukkan kepada mereka bagaimana Deva Siva telah muncul pada masa Kali-Yuga sebagai Sripada Sankaracarya untuk mengajarkan pilsafat monisme ( yaitu Tuhan dan makhluk hidup adalah satu dan sama).

Artikel ini diterjemahkan dari majalah Sri Krishna Kathamrta oleh IGN Heka Wikana dan disadur ulang oleh Iant Sulistiyanto