Jumat, 28 Agustus 2020

Jenis Jenis Paham Bhairawa

Ada jenis-jenis paham Bhairawa :

1. Bhairawa Kala Cakra, yaitu suatu ajaran Tantrayana dimana unsur Buddhisme (Mahayana) lebih dominan dari pada unsur-unsur Siwaisme. Raja Krtanegara (Singhasari) dan Adityawarman (Sumatera), leluhur Arya Dhamar dikatakan mempraktekkan ajaran ini.

2. Bhairawa Bhima adalah ajaran Bhairawa dimana unsur-unsur Siwaisme dominan. Kebo Parud dan Arya Damar (Bali) mempraktekkan ajaran ini.

3. Bhairawa Heruka yaitu ajaran Tantrayana yang terdapat di Padang Loco (Sumatera) dimana unsur-unsur kebudayaan asli Nusantara lebih dominan. Pengikutnya belum diketahui secara jelas.

Aliran tersebut mungkin berkembang sebagai akibat adanya hubungan politik dengan kerajaan Singhasari di Jawa Timur pada masa pemerintahan raja Krtanegara yang menerapkan ajaran Bhairawa. Dalam ajaran ini Siwa dipuja dalam wujudnya yang hebat yang disebut Durga. Durga dilukiskan sebagai kekuatan yang menakutkan, menyeramkan. Durga adalah sakti-nya Siwa yang di-sthana-kan di pura dalem pemuwun. Sementara kekuatan (sakti) Siwa dalam aspeknya yang damai, cantik, lembut diwujudkan dalam bentuk Parwati.

Nama Mpu Bharadah juga disebutkan di dalam prasasti berbahasa Sanskerta yang ditemukan di atas sebuah arca Mahakshobya di Simpang, Surabaya. Mpu Bharadah, bhagawanta (pendeta istana) raja Erlangga di Jawa Timur dikatakan pernah datang ke Bali dengan mengendarai sekeping kayu palud menyebrang lautan menuju Bali untuk menemui Mpu Kuturan yang lebih dulu ada di Bali. Mpu Kuturan ber-pasraman di Silayukti (Teluk Padang), Karangasem. Tujuannya minta persetujuan untuk menobatkan Sri Aji Jayasabha, putra Erlangga untuk memerintah di Bali. Namun, permintaan ini ditolak. Jayasabha bersaudara dengan Jayabhaya. Mpu Bharadah sebagai orang suci dipuja di pura Tanjung Sari, Teluk Padang dan di pura Mrajan Kanginan, Besakih, Karangasem, Bali. Mpu Bharadah pernah tinggal di Besakih di lereng gunung Agung berdasarkan prasasti Watu Madeg tahun 929 Saka (1007 Masehi). Barangkali masih ada tempat-tempat lain dimana beliau disucikan.

Bayak tokoh sejarah atau pribadi panutan lain yang mengabdikan dirinya di bidang agama Tantrayana. Tak seorang pun akan menyangkal raja Krtanegara (1268-1292 Masehi), raja terahir dinasti Singhasari yang bahkan dipuja semasa hidupnya sebagai Siwa-Buddha pengikut ajaran Bhairawa.

Di dalam teks NEGARAKRTAGAMA yang digubah oleh Mpu Prapanca, seorang pujangga-pendeta istana raja Hayam Wuruk dalam kerajaan Majapahit, Kertanegara disebut "mokteng Siwa-Buddha loka" (bebas di dunia Siwa-Buddha). Dalam prasasti masa Singhasari bertahun 1273 Saka, dikatakan bahwa Krtanegara "lumah ri Siwa-Buddha" (kembali kepada Siwa-Buddha). Sang pujangga yang pengikut agama Buddha Mahayana memuja dewa pujaannya sebagai Siwa-Buddha.

Aliran Bhairawa ini berkembang hingga ke Bali. Sekte ini pernah berkembang di sini dan bekas-bekasnya masih dirasakan hingga sekarang. Agama Hindu yang berkembang di Bali diwarnai juga praktek-praktek ajaran Bhairawa. Raja-raja Bali di dalam mengendalikan kerajaan (angreh praja) menerapkan ajaran ini. Kawisesan, kanuragan, kekuatan magis dan sejenisnya menjadi ciri khas ajaran ini. Arya Damar, leluhur raja Badung dikenal sebagai raja yang menerapkan ajaran Tantrayana, sekte Bhairawa Bhima. Bukti-bukti ini, antara lain dapat dilihat dalam sebuah relief di sebuah pura di Grenceng, kota Denpasar yaitu, pura Maospahit. Upacara Medatengan atau Kincangkincung yang umumnya dilaksanakan pada malam terahir upacara Piodalan di pura-pura di wilayah kerajaan Badung, atau di sekitarnya di Bali dan biasanya dilaksanakan pada malam hari, yaitu upacara Penyineban dalam rangkaian upacara Piodalan merupakan bukti adanya pengaruh ajaran ini. Orang suci yang memimpin upacara ini juga khusus, bukan pendeta Siwa, tetapi seorang sadeg (mungkin berasal dari kata 'sadhaka'). Kebiasaan duduk di atas usungan jenazah (layon) yang diusung menuju ke setra (kuburan) juga bukti-bukti adanya pengaruh Tantrayana bahwa di masa yang silam penguasa daerah ini menerapkan ajaran Bhairawa Bhima. Duduk di atas usungan jenazah (layon) dalam rangkaian upacara Pitra Yajna merupakan wujud dari praktek pemujaan kepada Bhatari Durga di kuburan. Praktek seperti ini dikenal dengan nama smasanagama di dalam ajaran Tantrayana.

Mengamati kehidupan agama Hindu di Bali dimana pada zaman dulu kala pernah berkembang sejumlah sekte, satu diantaranya adalah Bhairawa. Bhairawa adalah suatu sekte Durga dari aliran Tantris kiri (wama sakta). Sejumlah bukti yang sangat berkaitan dengan praktek ajaran Bhairawa, seperti adanya bangunan candi dan pemujaan kepada Bhatari Durga, sebagai sakti Siwa. Durga dipuja di pura Dalem Pemuwun atau kuburan (setra). 'Candi' dalam pengertian ini berbeda dari yang ada di Jawa. Di Bali 'candi' adalah bangunan pintu memasuki sebuah pura (tempat suci) yang bentuknya terbelah dua dikenal dengan nama candi bentar. Candi biasanya dibangun pada gapura paling luar, sementara yang agak ke tengah (yang dekat dengan pelinggih utama) adalah paduraksa yang bentuknya tertutup dan beratap sesuai dengan arsiteknya. Paduraksa ini mirip dengan gopuram pada mandir-mandir di daerah Tamil Nadu atau India Selatan. Jadi, ada dua gerbang atau gapura: yang luar dan dalam. Candi menyimbulkan ambang batas memasuki alam "dalam" atau yang lebih dalam (dalem) yang bersifat rahasia (rahasya). Dengan bangunan ini siapa saja yang ingin masuk ke dalam pura diingatkan akan betapa makna candi bentar bagi perjalanan rohani menuju kedalaman rohani. Sementara  paduraksa lebih banyak menekankan pada unsur positif, kemegahan, keagungan. Di sini aspek positif dan negatif dipadukan, bukan salah satu dari mereka disisihkan. Ini merupakan ciri khas pemikiran orang-orang Bali dimana mereka mengambil hal-hal terbaik dari mana saja dan dipadukan secara harmonis, selaras dan seimbang. Barangkali ini dapat dikatakan juga sebagai sinkritisme. Ajaran ini berkembang sekitar abad ke-13 Masehi. Ajaran ini juga dibuktikan dengan adanya arca Bhairawa Bhima di Pura Kebo Edan, Pejeng, Gianyar Bali. Wujud Bhairawa Bhima dipahatkan sedang menari kakinya menginjak mayat, mukanya tertutup (memakai masker) atau topeng. Sikap tarinya bernama alida, falus (kemaluan laki-laki) kelihatan dan mengarah ke kiri. Arah ke kiri bermakna Niwrtti dan apabila ke kanan bermakna Prawrtti. Lebih lanjut hal ini mengisyaratkan adanya dua paham dalam ajaran ini, yaitu aliran kiri (Pengiwa) dan kanan (Penengen). Dalam perkembangan aliran Bhairawa di Bali keduanya berkembang.

Ada sejumlah golongan yang dapat dimasukkan ke dalam Bhairawa tergolong Niwrtti Yoga (Pengiwa), ini antara lain:

1. Wegig (bagian pemasangan).
2. Teluh (berwujud binatang).
3. Leyak (berupa api pada malam hari), Tranjana (memungkinkan terbang di angkasa).

Sementara golongan Prawrtti Yoga (Penengen) antara lain:

1. Pragolan, Panggul (misalnya semacam ikat pinggang dan sejenisnya).
2. Pengasih Pengenduh.
3. Penglantih.
4. Pengeger.
5. Pemalyanan.

Kedua aliran ini yaitu Pengiwa dan Penengen semuanya memuja Sakti, yaitu Dewi/Bhatari Bhairawi, nama lain Dewi/Bhatari Durga. Dewi adalah Sakti-Nya Siwa dalam wujudnya yang menyeramkan, mengerikan, menakutkan. Parwati atau Uma adalah sakti Siwa dalam wujudnya yang damai (shanti). 'Sakti' di sini diterjemahkan sebagai 'kekuatan', 'tenaga'. Kebanyakan prakteknya dilakukan pada malam hari dan hari-hari tertentu menurut perhitungan kalender Jawa-Bali, misalnya Kajeng Kliwon. Ajaran ini bersifat rahasia, di berikan kepada murid kerohanian (sisya) tertentu saja.

Aliran Bhairawa nampaknya sangat digemari oleh penguasa. Hal ini dipelajari untuk kepentingan menjaga kestabilan pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat.

Pengarcaan Bhima yang banyak ditemukan di Jawa dan juga di Bali merupakan ciri nyata berkembangnya ajaran Bhairawa. Bhima di sini bukanlah dimaknai sebagai tokoh Bhima di dalam wiracarita Mahabharata, namun yang dipentingkan di sini adalah sifat-sifatnya yang memperlihatkan kekuatan, kehebatan, kesaktian. Fisiknya kekar, berotot, berkumis tebal, memiliki kuku panjang pada ibu jarinya yang dikenal dengan sebutan panchanaka, mengenakan kain poleng bang bintulu dan memiliki senjata utama berupa gada. Namun dalam bentuk arca yang ditonjolkan bagian kelamin yang kadang-kadang dalam posisi ereksi dengan ukuran yang terlalu besar bila dibandingkan dengan ukuran tubuhnya sendiri, misalnya pada arca Bhima dari Trenggalek yang kini menjadi koleksi Meseum Mpu Tantular. Pernah juga dilaporkan adanya arca Bhima yang penisnya diberikan tonjolan di kanan kirinya, mirip seperti lingga yang berbentuk penis di candi Sukuh dan Ceto. Tokoh Bhima ini dijadikan perwujudan ajaran Bhairawa mengingat kualitas spiritual yang dimiliki dan sangat dekat dengan karakter ajaran Bhairawa Tantra yang menekankan pada kesaktian dan magis. Karena kekuatan itu banyak cerita pewayangan di Jawa mengisahkan tokoh Bhima ini, misalnya Bhima Bungkus yang mengisahkan keajaiban Bhima pada saat lahirnya; Pandu Papa mengisahkan perjalanan Bhima menyelamatkan Pandu, ayahnya dari siksa neraka; Nawaruci/Dewaruci yang mengisahkan upaya yang penuh rintangan mendapatkan air kehidupan (amrta) di dasar samudra. Di Bali sendiri tokoh Bhima ini dikisahkan di dalam lakon Bhima Swarga.

OM Shanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar